Suku Mandar adalah kelompok etnik di Nusantara, tersebar di seluruh pulau Sulawesi , yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara, juga tersebar di beberapa provinsi di luar sulawesi seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa dan Sumatera, Papua bahkan sampai keLuar Negeri.
Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi pemekaran wilayah, Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan. Meskipun secara politis Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan kultural Mandar tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah Mandar merupakan ikatan persatuan antara tujuh kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna Salu). Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.
Rumah adat suku Mandar disebut Boyang. Perayaan-perayaan adat diantaranya Sayyang Pattu'du (Kuda Menari), Passandeq (Mengarungi lautan dengan cadik sandeq), Upacara adat suku Mandar , yaitu "mappandoe' sasi" (bermandi laut). Makanan khas diantaranya Jepa, Pandeangang Peapi, Banggulung Tapa, dll.
Suku Mandar terdiri atas 17 (kerajaan) kerajaan, 7 (tujuh) kerajaan hulu yang disebut "Pitu Ulunna Salu", 7 (tujuh) kerajaan muara yang disebut "Pitu ba'bana binanga" dan 3 (tiga) kerajaan yang bergelar "Kakaruanna Tiparittiqna Uhai".
Tujuh kerajaan yang tergabung dalam wilayah Persekutuan Pitu Ulunna Salu adalah :
- Kerajaan Rante Bulahang
- Kerajaan Aralle
- Kerajaan Tabulahan
- Kerajaan Mambi
- Kerajaan Matangnga
- Kerajaan Tabang
- Kerajaan Bambang
Tujuh kerajaan yang tergabung dalam wilayah Persekutuan Pitu Baqbana Binanga adalah :
- Kerajaan Balanipa
- Kerajaan Sendana
- Kerajaan Banggae
- Kerajaan Pamboang
- Kerajaan Tapalang
- Kerajaan Mamuju
- Kerajaan Benuang
Kerajaan yang bergelar Kakaruanna Tiparittiqna Uhai atau wilayah Lembang Mappi adalah sebagai berikut :
- Kerajaan Allu
- Kerajaan Tuqbi
- Kerajaan Taramanuq
Di kerajaan-kerajaan Hulu pandai akan kondisi pegunungan sedangkan
kerajaan-kerajaan Muara pandai akan kondisi lautan. Dengan batas-batas
sebelah selatan berbatasan dengan Kab. Pinrang, Sulawesi Selatan, sebelah timur berbatasan dengan Kab. Toraja, Sulawesi Selatan, sebelah utara berbatasan dengan Kota Palu, Sulawesi Tengah dan sebelah barat dengan selat Makassar.
Sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan di Mandar, telah banyak
melahirkan tokoh-tokoh pejuang dalam mempertahankan tanah melawan
penjajahan VOC
seperti: Imaga Daeng Rioso, Puatta i sa'adawang, Maradia Banggae,
Ammana iwewang, Andi Depu, meskipun pada akhirnya wilayah Mandar
berhasil direbut oleh pemerintah VOC.
Dari semangat suku Mandar yang disebut semangat "Assimandarang" sehingga pada tahun 2004 wilayah Mandar menjadi salah satu provinsi yang ada di Indonesia yaitu provinsi Sulawesi Barat.
SEJARAH di tanah MANDAR
Walaupun
daerahku ini masih terpencil dan belum dikenal oleh seluruh pelosok
negeri Indonesia, tetapi Mandar memiliki sejarah yang tak kala
melegendanya dengan sejarah-sejarah negeri kita di daerah lain. Mandar
juga memiliki beberapa persamaan karakteristik dengan saudaranya yaitu
Bugis, tetapi tetap saja perbedaan diantara keduanya sangatlah jelas.
Berikut saya akan memperkenalkan tanah yang kami cintai ini kepada Anak
Bangsa Indonesia yang lain:
Asal usul nama Mandar,
Mandar
adalah suatu daerah di Propinsi Sulawesi Barat, suku bangsa yang
mayoritas mendiami daerah Sulawesi Barat, nama bahasa daerah, dan nama
sebuah sungai di Kabupaten Polewali Mandar. Daerah Mandar meliputi lima
kabupaten yaitu Kab.Polewali Mandar, Kab.Majene, Kab.Mamuju, Kab.Mamasa
dan Kab.Mamuju Utara. Luasnya sekitar 1.105.761 km2. Beberapa pendapat tentang asal mula munculnya istilah Mandar sebagai berikut :
1. Dari Kata mandar yang berarti ‘sungai’. Penduduk
di Kec.Tinambung, Kec.Limboro, dan Kec.Allu sepanjang Sungai
Mandar(sekarang) apabila mau “turun” mandi di sungai mengatakan Na naungaq mandoeq di uai (Saya akan “turun”/pergi mandi di sungai),
2. Dari kata maqdara.
Pendapat ini, didasarkan pada sifat orang Mandar yang salah sedikit
saja mereka tidak segan-segan bertikam yang akibatnya bermandi darah.
Orang yang member nama ini ialah orang yang berasal dari luar daerah
Mandar,
3. Dari kata mandaraq yang berarti bersinar, bercahaya,
4. Dari kata mandaq yang artinya kuat,
5. Dari kata maqandar atau meander ‘mengantar’,
boleh juga berarti ‘mengiring’. Pendapat ini berdasarkan cerita rakyat
tentang suatu kejadian di suatu daerah Mandar (yang sebelum bernama
Mandar) di zaman lampau. Dikisahkan, sebuah rakit yang berisi
persumbahan kepada Dewata dari hulu sungai (yang sekarang bernama Sungai
Mandar) menuju muara. Seluruh rakyat berbaris dipinggir sebelah
menyebelah sungai untuk maqandar (mengantar) rakit itu sampai ke muara. Setiba di muara, manusia pengantar itu mettambung(bertumpuk) di sebelah menyebelah sungai menyebabkan tempat di muara sungai itu bernama Tambung yang kemudian menjadi sebuah kampung. Kira-kira berjarak setengah kilometer dari Tambung
arah kehulu, ujung barisan pengantar berbalik berputar untuk kembali ke
hulu sungai. Tempat berbalik/berputar kembali, itu pun bernama Paqgiling (dari kata giling atau putar) yang kemudian menjadi sebuah kampung.
6. Dari kata Dharaman (bahasa Hindu/Sansekerta). Terdiri dari dua akar kata, yaitu man+dhar berasal dari bentuk kata dharaman yang berarti ’mempunyai penduduk’. Akhirnya terjadi pertukaran dan perubahan pengucapan menjadi Mandar.
Mandar di masa penjajahan Belanda,
Belanda
sangat mempengaruhi sejarah Indonesia pada zaman penjajahan karna
Belanda-lah yang menjajah Indonesia paling lama yaitu sekitar 300 tahun,
Belanda juga menindas rakyat Indonesia termasuk juga Mandar dengan
kejam walaupun tidak sekejam Jepang. Berikut ini saya akan menggambarkan
kronologi perlawanan-perlawanan rakyat Mandar terhadap penjajah Belanda
:
Perlawanan dan protes keras H.Maata,
- Terjadi pada tahun 1932,
H.Maata,
Kepala Desa Pambusuang kepada penjajah Belanda, atas perlakuan
mempekerjakan langsung penduduk desanya membuat jalan di Kunyi, tanpa
izinnya sebagai Kepala Desa. Perlawanan kecil, tetapi menunjukkan
perlawanan menentang Belanda telah menjadi laten di Mandar setidaknya
sejak Tokape Maraqdia
Balanipa memulainya di abad ke-19. Baharuddin Lopa menggambarkannya
seperti yang dituturkan oleh Hasan Latief, bekas Kepala Distrik
Tenggelang, 13 juni 1981. Sampai dengan tahun 1932 perlawanan
orang-orang Mandar terhadap penjajahan Belanda masih terjadi terus
meskipun kecil-kecilan. H. Maata mendatangi kantor Controleur di
Polewali menyatakan protes keras kepada pejabat pemerintah kolonial.
Semestinya dia sendiri yang memerintahkan langsung kepada penduduknya.
Akibat peristiwa itu beberapa tokoh penduduk Desa Pambusuang ditangkap
oleh pemerintah kolonial. Semestinya dia sendiri yang memerintahkan
langsung kepada penduduknya. Akibat peristiwa itu beberapa tokoh
penduduk Desa Pambusuang ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda
dengan tuduhan berkomplot dengan Kepala Desa H.Maata melakukan
pembangkangan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Peristiwa Bendera Merah Putih di Tinambung,
Pada
peristiwa Bendera Merah Putih ini, Ibu Andi Depu (pahlawan Mandar)
memeluk tiang bendera Merah Putih, merupakan sepak terjang penentangan
langsung Ibu Andi Depu terhadap tentara Belanda yang ingin menurunkan
bendera Merah Putih yang sedang sedang berkibar di depan istana Kerajaan
Balanipa (kerajaan terbesar di Sulawesi Barat pada saat itu) di
Tinambung. Istana yang sekaligus dijadikan salah satu markas komando
perjuangan rakyat Mandar mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia,
dua hari sebelum Peristiwa Bendera Merah Putih di Tinambung,
- Tanggal 13 Januari 1946,
Aparat
NICA telah mengibarkan bendera Belanda di dalam tangis KNIL di Majene.
Dengan dukungan Sekutu, 1 Januari 1946 aparat Belanda menurunkan bendera
Merah Putih di semua tempat dalam wilayah Majene. Sampai kemudian
Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pertempuran Tonyaman dan rentetan peristiwa dan pertempuran berikutnya sampai bulan Desember 1946,
- Tanggal 16 Agustus 1946,
Yakni
pertempuran antara para pemuda/pejuang di bawah pimpinan Pangiu dan
Nyompa melawan pasukan KNIL/NICA di bawah komando Controleur Polewali
G.J.Monsers di daerah Tonyaman Polewali. Pejuang bersenjatakan bambu
runcing, keris, badik dan parang panjang melawan pasukan KNIL/NICA yang
mempergunakan senjata api. Controleur Polewali G.J.Monsers dan beberapa
pengawalnya terbunuh. Pejuang merampas satu pucuk pistol dan senjata
Ouwengun.
- Tanggal 17 Agustus 1946,
Satu peleton tentara NICA/KNIL menangkapi semua laki-laki dewasa yang ada di Tonyaman. Disiksa habis-habisan.
- Tanggal 18 Agustus 1946,
Pasukan
KNIL/NICA melancarkan serangan balasan terhadap markas pemuda/pejuang
di Silopo. Pangiu dan kawan-kawan memberikan perlawanan mati-matian.
Pabi, pemuda pejuang gugur. Padara, Sida, Mada, dan Pungga Sampe luka
parah dan tertangkap. Markas pejuang dibakar habis oleh musuh.
- Pada awal September,
Di
bawah pimpinan Ambo Damma, para pejuang menyerang markas musuh di
Bungin, lima orang gugur yaitu Amba, Tanai, Billa, Badusama, dan
Mangundang. Pertengahan September, pasukan Pangiu Komandan Kompi III
melakukan penghadangan di Mirring Polewali. Penghadangan tidak berhasil.
Granat yang dilemparkan jatuh di belakang mobil musuh. Beberapa orang
rakyat yang kebetulan ada di sekitar daerah penghadangan ditangkap,
disiksa dan dibunuh oleh pasukan musuh.
- Pada akhir bulan September,
Pangiu
menyerang mata-mata musuh di Binuang yang dipimpin oleh Wa Saira. Wa
Saira pun terbunuh juga. Awal Oktober para pejuang di bawah pimpinan
Nyompa menyerang mata-mata musuh dan pos polisi NICA di Paku. Beberapa
orang mata-mata musuh ditangkap dan dibunuh.
- Tanggal 7 Oktober 1946,
Terjadi
pertempuran antara para pejuang yang dipimpin Masse dan Landi dengan
serdadu KNIL di Kalosilosi. Empat orang pejuang gugur, yaitu dipimpin
Masse, Tangnga, Reken, dan Kadongboli. Di pihak musuh empat orang
mata-mata ditangkap, dibawa ke Riso,Tapango, diadili dan dibunuh.
Serdadu
KNIL menyerangan markas pejuang di Tabone. Empat orang pejuang gugur
yaitu Lattone, La Runa, Tola dan Tabara (seorang perempuan tukang
masak). Beberapa orang terperangkap antara lain Onjang, Apo dan Tanah.
- Tanggal 10 Oktober 1946,
Para
pejuang mengadakan pertemuan di Kelapadua. Merencanakan penyerangan
umum terhadap musuh di kota Polewali pada tanggal 12 Oktober.
- Tanggal 12 Oktober 1946,
Dipimpin
oleh Controleur Polewali Yonasse, serdadu KNIL mendadak menyerang
markas pejuang Kompi II di Kelapadua. Dua puluh satu orang pejuang gugur
dan beberapa orang ditangkap. Markas pejuang dibakar musuh.
- Tanggal 13 Oktober 1946,
Pasukan
KNIL menangkap Badu di Kelapadua. Badu sama sekali tidak mau
menyebutkan tempat persembunyian kawan-kawannya sesame pejuang. Badua
ditembak mati.
- Tanggal 14 Oktober 1946,
Berdasarkan
informasi dari seseorang pengkhinat, serdadu KNIL mengetahui lokasi dan
menyerang markas pejuang di Gua Salu Bayo. Dalam pertempuran, Komandan
Kompi II Tarrua gugur bersama kedua puteranya, Sampeani dan Lira.
Pertengahan November, pemimpin tertinggi perjuangan wilayah Polewali
Andi Hasan Mangga tertangkap.
- Tanggal 3 Desember 1946,
Di
bawah pimpinan H. Umri dan Nyompa para pejuang melakukan penyusupan
besar-besaran ke dalam Kota Polewali untuk melaksanakan penyerangan
terhadap kantor Controleur/NICA, markas
polisi NICA, dan penjara Polewali. Para pejuang juga melakukan
aksi-aksi lainnya mengganggu musuh. Aparat KNIL dan polisi NICA
menangkapi Andi Hasan Mangga, Alex Pattola, Pene Dg Pasanre, H.Ummarang,
La Hamma, Pangiu, Tamalino, Nongngo, Salampang, Panikkai, Labulan, La
Gante, Ati Dg Patoangin, Tonang, Manangi, Panjang, Pama, dan Kati.
Sebagian besar ditembak mati dan yang lainnya dipenjarakan. Untuk
mengenang, menghargai, menghormati jasa-jasa mereka dibangunlah Monumen
Bambu Runcing/Tiga Pahlawan Pejuang Kemerdekaan, dan Monumen Perjuangan
45. Keduanya berada di kota Polewali, kab. Polman.
Peristiwa Tololoq dan Peristiwa Galung Lombok,
Masyarakat Mandar menyebutnya Panyapuang
(penyapuan) di Galung Lombok (Desa Galung Lombok, Kec. Tinambung, Kab.
Polman sekarang). Pembantaian massal yang dilakukan oleh pasukan
Westerling terhadap rakyat Indonesia dari daerah Baruga, Tande, Simullu,
Banggae dan sekitarnya (Kab.Majene sekarang) dari daerah Tinambung dan
sekitarnya (Kab.Polman sekarang). Pembantaian ini berlangsung 1 Februari
1946 dan menewaskan rakyat dan para pejuang. Kurang lebih 700 orang,
termasuk 32 orang tawanan anggota pejuang dari penjara Majene. Latar
belakang terjadinya Peristiwa Galung Lombok karena Belanda sama sekali
tidak leluasa kembali berkuasa di daerah Mandar. Belanda mendapat
perlawanan keras dari rakyat Mandar. Para pejuang yang tergabung dalam
organisasi perjuangan KRIS-Muda bahu membahu dengan para pejuang yang
membentuk kelas kerang GAPRI 5.3.1 melakukan aksi mengganggu dan melawan
Belanda. Belanda pun kewalahan. Perlawanan rakyat semakin sulit
dipatahkan. Pasukan berbaret merah yang dikenal dengan sebutan Detachement Speciale Troepen (DST) beranggotakan 123 orang di bawah pimpinan Letnan Satu Raymond
Pierre Westerling dikirim oleh pemerintah Belanda dari Batavia ke
Sulawesi Selatan dan Barat untuk membina para pejuang untuk memadamkan
semangat perjuangan Tetap Merdeka. Westerling memperoleh laporan,
kantong-kantong perjuangan rakyat Sulawesi Selatan dan Barat merata di
Afdeling Makassar, Pare-Pare, Bonthain, dan Mandar.
- Tanggal 11 Desember 1946,
Letnan Gubernur General Dr.H.J.Van Mook di Batavia mengumumkan keadaan darurat perang (SOB) untuk Afdeling Makassar, Pare-Pare, Bonthain, dan Mandar.
- Tanggal 1 Februari 1947,
Pasukan
Westerling di bawah pimpinan Stufkens dan Vermulen mengepung kampung
Baruga, Simullu, Segeri, Lembang, Tande (di kab.Majene) dan sekitarnya,
Tinambung, Kanreapi, Lawarang (Kab.Polman) dan sekitarnya. Untuk
menakut-nakuti rakyat, pasukan Belanda membakar beberapa rumah rakyat.
Penduduk pada kampung-kampung tersebut dikumpulkan lalu digiring ke
Galung Lombok. Di tempat itu perempuan dan anak-anak dipisahkan dari
laki-laki. Kemudian pasukan Westerling mengadakan “pengadilan singkat”
untuk mengetahui siapa di antara mereka yang di mata Belanda dicap
Ekstremis.
Untuk mengetahui secara pasti siapa anggota organisasi perjuangan GAPRI
5.3.1., KRIS Muda,TRIPS dan ALRI, Stufkens dan Vermuelen mendatangkan
32 orang tawanan anggota pejuang dari penjara Majene, sekitar 10 km dari
Galung Lombok. Mereka dipaksa menunjuk siapa di antara massa yang hadir
yang menjadi anggota pejuang atau simpatisan pejuang. Mereka menutup
mulut rapat-rapat. Karena tentara Belanda tidak berhasil memaksa mereka
membuka rahasia, mereka dijejerkan dan ditembak satu persatu.
Selanjutnya penembakan dan pembunuhan ditujukan kepada para pemuka
masyarakat yang diduga membantu para pejuang. Kepala Distrik dan
pemuka-pemuka masyarakat Baruga, Tande, Simullu, dan lain-lain satu
persatu menemui ajal. Sementara penembakan missal terjadi di Galung
Lombok, Pasukan GAPRI 5.3.1. di bawah pimpinan Basong yang berada di
markas pejuang di Pumbeke, segera berangkat ke Segeri menyusul menyusul
kawan-kawannya. Pasukan Westerling tidak juga muncul, pada hal mereka
sudah lama menunggu. Di Talolo terjadi kontak senjata dengan pasukan
Belanda yang sedang patroli. Seorang tentara Belanda hendak memperkosa
seorang wanita, dicegah olah Harun dan Habin anggota pasukan pimpinan
Basong. Pada pertempuran singkat di Talolo dua orang anggota pasukan
GAPRI.5.3.1. gugur yaitu Sukirno dan Yonggang. Di pihak tentara Belanda
terbunuh Dickso, Van Feuw, dan seorang lagi yang tidak diketahui
namanya. Sesudah pertempuran singkat, Tanne bersama pasukannya datang
untuk membantu kawan-kawannya. Tiba-tiba sebuah mobil pasukan Westerling
datang. Pasukan Tanne melempar mobil itu dengan granat dan mobil itu
pun terbalik masuk jurang. Begitu
Stufkens dan Vermuelen mendengar 3 orang anak buahnya dan mobil
pasukannya masuk jurang, keduanya langsung naik darah. Maka terjadilah
pembantaian massal rakyat di Galung Lombok yang tadinya hanya pengadilan
massal mencari para pejuang. Rakyat yang tidak berdosa banyak yang jadi
korban. Pembunuhan berlangsung sekitar 07.00 pagi sampai pukul 17.00
sore. Di sore dan malan hari dilaksanakan penguburan seadanya oleh
kerabat mereka yang masih hidup dan rakyat yang dipaksa oleh pasukan
Westerling. Banyak pejuang dari organisasi perlawanan KRIS Muda, GAPRI
5.3.1., pasukan ekspedisi pejuang dari Kalimantan yang gugur. Untuk
mengenang dan sebagai penghormatan kepada mereka dibangun Monumen Korban
40.000 Jiwa Galung Lombok di Desa Galung Lombok, kec. Tinambung,
Kab.Polman.
Peristiwa Pembantaian di Pamboang,
- Tanggal 5 Februari 1947,
Peristiwa
sejarah ini dilakukan oleh tentara KNIL, menewaskan 35 orang pahlawan
termasuk tawanan dari Majene. Diantara korban gugur ialah Kepala Distrik
Pamboang, Kepala Desa, dan Polisi Kampung. Sebelum ditembak mati, ada
yang disiksa sehebat-hebatnya. Telinga, hidung, dan kemaluan dipotong.
Mandar di masa penjajahan Jepang,
Sama
dengan daerah-daerah lainnya di Sulawesi Selatan. Merasakan tekanan,
penindasan, dan penderitaan yang sangat besar. Para bekas/pemimpin
partai dan pejuang kemerdekaan di Majene, Pamboang, Polewali, dan di
tempat-tempat lainnya ditangkap oleh Belanda. Ditahan di Majene sekitar
dua sampai tujuh hari lamanya, kemudian dilepaskan dengan perintah agar
benar-benar membubarkan semua partai, pergerakan-pergerakan, dan
sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang ada, disertai ancaman sanksi
yang berat apabila tidak dijalankan. Mulai berlaku kekuasaan main pukul
dan main hakim sendiri terhadap siapa saja yang dianggap bersalah,
walaupun kesalahan itu hanyalah kesalahan kecil.
Dalam kesulitan hidup yang berat dan perlakuan sewenang-wenang muncul
kelompok pemberani di Kerajaan/Distrik Allu di bawah pimpinan Muhammad
Saleh Puanna I Su’ding (lebih dikenal dengan nama Hamma’ Saleh Puanna I
Su’ding). Dia dan kawan-kawan melakukan perlawanan bersenjata terhadap
pemerintahan Jepang pada bulan Maret 1945. Dimulai dengan soal penagihan
pajak yang tidak ditaati oleh mereka. Mereka memilih mengembara di
hutan-hutan. Sesekali menyerang polisi Jepang dan menewaskan para polisi
Jepang tersebut sedekit demi dekit hingga Indonesia menyatakan
kemerdekaan Indonesia.
Sumber : Dari berbagai sumber Buku Ensiklopedia tentang Mandar
0 komentar:
Posting Komentar