Menenun sarung sutera bagi orang-orang
Mandar di Sulawesi Barat sudah menjadi kebiasaan atau tradisi yang
diwariskan turun temurun, biasanya kaum wanita yang melakukan aktivitas
ini, anak-anak-remaja, gadis, hingga perempuan dewasa menenun untaian
benang sutera yang kemudian digabungkan hingga menjadi satu kain
berukuran besar yang dapat dijahit dan dijadikan sarung. Aktivitas
menenun dilakukan para gadis-gadis di suku ini ketika berada di rumah
untuk mengisi kekosongan kegiatan, para gadis muda biasanya menenun
untuk mengisi waktu saat siang hari, ada juga perempuan dewasa yang
melakoni kegiatan ini untuk alasan motif ekonomi, mencari tambahan
penghasilan bagi keluarga.
Aktivitas menenun bagi perempuan di
Mandar, Sulbar adalah bentuk kerjasama yang baik antara suami dan istri,
orang-orang Mandar banyak dikenal memiliki profesi sebagai nelayan,
ketika sang suami pergi melaut, maka sang istri akan menunggu suami
kembali dari laut, untuk mengisi waktu mereka kadang membuat sarung
sutera yang ditenun secara tradisional, menggunakan alat tenun manual
yang dipesan pada pembuat perangkat tenun. Siang hingga sore hari adalah
waktu yang banyak digunakan para perempuan sebagai masa untuk menenun
sarung, biasanya mereka melakukannya di kolong-kolong rumah panggung,
rumah tradisional orang-orang Mandar banyak didominasi rumah panggung
sehingga bagian bawahnya biasa digunakan sebagai tempat untuk menenun
sarung bagi para perempuan. Jika anda mengunjungi beberapa rumah
orang-orang Mandar di kabupaten Majene atau Polewali Mandar maka anda
akan menemukan beberapa perangkat tenun tradisional yang disimpan rapi
lengkap dengan alat-alat bantu untuk mengolah benang sutera. Bukan hanya
dikolong rumah, kadang ada juga yang meletakkan perangkat tenunnya di
bagian ruang rumah, namun dominan mereka menempatkan pernagkat tenun di
kolong rumah, beberapa pertimbangan digunakan untuk alasan kolong rumah
lebih sejuk dibandingkan menenun diruang rumah.
Namun seiring dengan perkembangan zaman
dan modernisasi yang terjadi maka tempat menenun tidak lagi terbatas di
tempat-tempat tertentu saja, bahkan di ruang kecil, misalnya di kios
depan rumah, aktivitas menenun juga bisa dilakukan, salah satu contoh
adalah seperti yang terlihat di salah satu dusun di desa Laliko,
kecamatan Campalagian, kabupaten Polewali Mandar, sembari
menjual premium eceran di kios depan rumahnya, seorang ibu muda juga
menenun sarung sutera, ketika ditanyai mengenai jenis corak/motif sarung
apa yang ia buat, ia cuma menjawab “tak tahu apa nama sureqnya” Namun
dari motifnya terlihat pola warna sarung sutera yang sangat cantik,
lembut dengan paduan warna cokelat dan kuning gading.
Akivitas menenun sarung sutera masih
dijalankan oleh perempuan-perempuan Mandar utamanya di kabupaten
Polewali Mandar, untuk tinggalan budaya yang masih terwariskan, dapat
kita lihat terjadi di kabupaten ini, dari sini kemudian jejak-jejak
budaya sarung sutera Mandar masih dapat dilihat dengan jelas. Dari
contoh diatas, ada banyak sureq atau motif yang lahir, dan penamaan
sureq/motif sangatlah beragam, kadang si pembuat tak tahu apa nama sureq
yang dibuat, ia hanya mengikuti pola yang telah dibuat dan dijadikan
panduan oleh pengkonsep sureq sebelumnya. Penamaan sureq juga beragam,
biasanya mengikuti trend mode yang ada saat ini, mulai dari inspirasi
kegiatan-kegiatan kebudayaan seperti “sandeq race” sehingga memunculkan
sureq sandeq, trend lagu-lagu modern, tokoh tokoh yang sedang terkenal,
dan trend mode pakaian terbaru.
Terlepas dari variasi sureq sarung
sutera Mandar maka terdapat dua sureq klasik dan pakem yang dikenal,
kedua sureq itu adalah “sureq salaka” dan “sureq padzadza” sureq salaka
merupakan motif sarung dengan warna dasar dominan hitam, dengan corak
kotak-kotak, biasanya sureq ini digunakan saat acara-acara kematian atau
peringatan yang berhubungan dengan kejadian kesedihan di suku Mandar,
lalu yang kedua adalah “sureq padzadza” motif sarung sutera Mandar
dengan warna dasar merah dan corak kotak-kotak vertikal serta
horizontal. Penggunaan sureq padzadza sendiri lebih fleksibel, biasanya
digunakan untuk acara-acara tradisi pernikaha, syukuran, dan akikahan.
Kedua sureq ini adalah sureq legenda yang jadi khas motif sarung yang
dibuat oleh orang-orang di suku Mandar.
Budaya menenun sarung sutera di suku
Mandar boleh dikatakan semakin menurun, gempuran produk sarung yang
lebih praktis mendorong matinya produksi sarung, harga bahan benang
sutera asli jugatidak sedikit mengurangi produksi sarung sutera asli,
sementara rentang keuntungan yang diperoleh para penenun sarung sutera
tidak banyak, para penenun hanya banyak menghabiskan waktu dan tenaga
untuk membuat sarung, namun tingkat keuntungan tidak mencukupi, karena
itu saat ini banyak penenun yang enggan menenun sarung sutera lagi,
mereka lebih banyak melakoni pekerjaan yang lebih mendatangkan
keuntungan dari sisi ekonomi.
Hasil tenunan sarung sutera Mandar yang
berdedar di pasaran kini terbuat dari dua jenis bahan benang sutera,
pertama adalah bahan dengan benang sutera asli dan yang kedua adalah
bahan benang sutera imitasi, benang sutera asli adalah benang yang
diperoleh dari penangkaran ulat yang menghasilkan benang sutera yang
kuat, dengan pengolahan hingga berhari-hari, termasuk proses memintal,
mewarnai, dan membuatnya dalam helaian kelompok benang sutera yang siap
untuk ditenun. Sementara benang sutera imitasi adalah yang diperjual
belikan di pasar-pasar tradisional dengan harga yang lebih murah
dibandingkan dengan benang sutera asli. Mudah membedakan sarung sutera
yang menggunakan benang sutera asli dan benang sutera imitasi, yang asli
akan memberikan efek dingin di saat cuaca sedang panas, dan efek panas
disaat cuaca yang dingin, sementara untuk benang sutera imitasi di saat
cuaca panas maka sang pemakai sarung juga akan merasakan panas. Dari
segi harga memang lebih murah tetapi dari kualitas cukup jauh.
Sarung sutera Mandar yang banyak beredar
di pasaran saat ini lebih banyak menggunakan benang sutera imitasi, ini
karena pilihan harganya yang murah dan terjangkau, mudah dimiliki oleh
masyarakat dengan warna yang lebih beragam dan motif yang lebih bebas.
Motif-motif sarung sutera Mandar seperti motif salaka dan padzadza
cenderung monoton dan tidak bebas, karena itulah kemudian motif-motif
yang lebih bebas dan keluar dari pakem salaka dan padzadza banyak diburu
oleh konsumen penyuka sarung sutera.
Sulit memisahkan budaya penggunaan
sarung sutera terutama di suku Mandar, Sulawesi Barat, budaya mengenakan
sarung terutama untuk acara-acara tradisi sudah dianggap sebagai sebuah
kewajiban dan tradisi dalam menghargai sesama manusia, bersarung sutera
adalah bukti dan perlambang kesopanan dalam menghargai tamu dan
menghormati sang tuan rumah pemilik hajatan. Bahkan, dahulu sarung
sutera Mandar mencerminkan status sosial seseorang, apakah ia keturunan,
raja, bangsawan, atau orang biasa, dahulu terdapat motif atau sureq
yang hanya bisa dikenakan oleh kalangan-kalangan tertentu saja.
Budaya menenun sarung sutera di daerah
Mandar, Sulawesi Barat jika dilihat dari sisi modernitas dan motif
ekonomi mungkin akan ketinggalan dan tidak menguntungkan, tetapi dibalik
itu ada tradisi turun temurun, nilai-nilai kesabaran, ketelatenan,
ketelitian, dan kreatifitas yang diasah untuk para perempuan yang
melakukan aktivitas menenun, ada jejak aktivitas budaya leluhur yang
penuh dengan nilai-nilai tradisi kental yang tampak ketika menenun
dijalani oleh perempuan Mandar.
Sumber : http://www.tommuanemandar.com
0 komentar:
Posting Komentar