Antonio de Paiva, pedagang Portugis, meninggalkan Malaka pada
1542 menuju Sulawesi untuk berdagang kayu cendana di “Durate” yang
terletak antara Toli-toli dan Dampleas, di barat laut Sulawesi. Dalam
pelayarannya menuju tempat tersebut, Paiva singgah berlabuh di Siang
(antara Barru dengan Maros saat ini). Ketika berlayar pulang, dia
singgah lagi di Siang dan terpaksa tinggal sementara waktu karena jatuh
sakit, serta menjadi tamu raja selama beberapa bulan. Pada 1544, Paiva
kembali datang ke Suppa’ (masuk wilayah Pinrang tapi lebih dekat ke kota
Pare-pare) dan Siang.
Setelah melalui perdebatan teologis, penguasa Suppa’ dan Siang
akhirnya minta dibaptis (dikristenkan). Saat Paiva kembali ke Malaka,
dia membawa serta empat pemuda yang akan dibawa ke Goa (India) untuk
dididik pada sebuah sekolah Jesuit. Juga ikut serta utusan dari penguasa
Siang dan Suppa untuk menemui Gubernur Malaka, agar ke daerah mereka
diutus pendeta.
Saat peristiwa di atas terjadi, Siang mempunyai daerah kekuasaan sampai ke Mandar dan Teluk Kaili.
Nampaknya, masa depan hubungan Portugis atau proses kristenisasi di
wilayah ini akan berjalan mulus, sampai ketika seorang perwira Portugis
membawa lari putri penguasa Suppa’. Untuk menghindari kemarahan orang
setempat, armada Portugis terpaksa meninggalkan Suppa’. Sampai pada
tahun 1559, tak ada orang Portugis yang berani datang ke Suppa’.
Di atas adalah salah satu faktor proses kegagalan kristenisasi di
Sulawesi Selatan dan sekitarnya. Faktor lain adalah adanya persaingan
mendapat pengaruh bangsawan setempat, antara orang Portugis dengan
pedagang Arab (penyebar Islam), kekurangsigapan penguasa Malaka (ketika
masih dikuasai Portugis) mengirimkan pendeta yang diminta penguasa
pribumi, faktor politik (Kerajaan Goa berhasil menundukkan sekutu
Portugis di Sulawesi, dalam hal ini Siang, Suppa, Alitta, Sawitto, dan
Bacukiki’), pandangan terhadap kepercayaan pribdumi, dan penerapan
strategi dalam menyebarkan agama.
Selama paruh kedua abad ke-16, persaingan Kristen dan Islam di
Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat) tampak masih belum
memperlihatkan pemenang. Penyebar Islam pertama yang dikenal adalah
Abdul Makmur, seorang penyiar Islam dari Minangkabau tiba di Sulawesi
Selatan untuk pertama kalinya pada 1575. Dia terhambat dalam menyebarkan
Islam sebab kebudayaan masyarakat setempat banyak yang bertentangan
dengan Islam, seperti makan daging babi, hati rusa mentah, dan minum
tuak. Dia kemudian pindah ke Kutai, dan lebih berhasil di sana.
Tapi, pada tahun 1600, Abdul Makmur, yang lebih dikenal dengan gelar
Dato’ ri Bandang, kembali ke Makassar bersama dua rekannya, Sulaiman
(Dato’ ri Patimang) dan Abdul Jawad (Dato’ ri Tiro) yang juga orang
Minangkabau. Ketiganya belajar agama di Aceh dan datang atas perintah
Sultan Johor.
Penyebaran Islam di Makassar mendapat tantangan penguasa setempat,
mereka pun menuju Luwu’. Mereka menuju Luwu’ sebab mereka mengetahui
budaya setempat, yang menganggap keturunan raja-raja berasal dari Luwu’
(mitos to manurung). Ketiganya berhasil mengislamkan penguasa
Luwu’ pada 1605, pada gilirannya akan memudahkan mereka melakukan proses
islamisasi kerajaan-kerajaan lain.
Setelah itu, mereka kembali ke Makassar, hingga delapan bulan
kemudian berhasil mengislamkan Karaeng Matoaya dengan mengambil gelar
Sultan Abdullah Awwalul Islam. Sultan ini kemudian mendorong kemenakan
sekaligus muridnya, raja Goa I Manga’rangi Daeng Manra’bia yang masih
berusia muda untuk memeluk Islam dan kemudian berganti nama menjadi
Sultan Alauddin. Pada 9 November 1607, shalat jamaah pertama berlangsung
di Masjid Tallo’, yang baru selesai dibangun.
Penguasa Goa dan Tallo’ merasa bahwa setelah masuk Islam, peluang
untuk menjadi pemimpin di Sulawesi Selatan (termasuk Sulawesi Barat)
semakin terbuka lebar. Kerajaan-kerajaan sekutu mereka diajak serta
masuk Islam. Bila ajakan ditolak, maka kerajaan kembar tersebut akan
melancarkan perang yang kemudian lebih populer disebut Musu’ Sallang
(Perang Islam) oleh orang Bugis.
Kemudian pada 1608, Goa-Tallo berhasil menaklukkan Bacukiki’, Suppa’,
Sawitto, dan Mandar. Kemudian pada tahun 1609, Sidenreng dan Soppeng
dikuasai, menyusul Wajo’ satu tahun kemudian. Dengan menyerahnya Bone
pada 1611, seluruh Sulawesi Selatan (kecuali Toraja) dan Sulawesi Barat
secara resmi memeluk agam Islam.
Pada gilirannya, aspek-aspek syariat kemudian diintegrasikan ke dalam
rangkaian hukum dan norma adat. Di setiap kerajaan dan kedatuan
dibangun masjid dan ditunjuk pejabat qadi (kali), imam (imang), serta
khatib (katte’), yang biasanya dari bangsawan. Agama Islam terus
berkembang dan aliran sufi mulai diperkenalkan.
Masuknya Islam di Mandar
Sampai saat ini, pustaka atau referensi yang membahas khusus sejarah
masuknya Islam di Mandar belum ada. Namun bila menghubungkan beberapa
pustaka yang didalamnya sempat membahas tentang sejarah masuknya Islam
di Sulawesi Selatan, misalnya buku Manusia Bugis karya Christian Pelras
(Nalar, 2006), Mengenal Mandar Sekilas Lintas karya Andi Syaiful Sinrang
(Rewata Tio, 1994), dan buku Ensiklopedi Sejarah dan Budaya Mandar
karya Suradi Yasil (2005), penjelasan yang lebih mendalam bisa
ditemukan.
penyebaran Islam di Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang mula
pertama diperkenalkan oleh Sayyid Zakaria dan Kapuang Jawa alias Raden
Mas Suryo Adilogo yang tidak lain adalah murid dari Sunan Bonang yang
datang dari Kalimantan menyebarkan siar Islam, lalu lanjut ke pulau
Sulawesi dan meratap pertama kali di Mamuju. (ibid).
Belum lagi banyaknya pemakaman Tosalama’ lainnya di tanah Mandar, yang
juga sekaligus dapat membuktikan betapa membuminya Islam di tanah
Mandar. Salah satu yang masi ramai dikunjungi oleh banyak orang adalah,
di Pulau Tosalama’ di Kecamatan Binuang Kabupaten polewali Mandar.
Dimana ditempat tersebut dan berada di atas puncak ketinggian
dikebumikan Syekh Bil Ma’ruf yang juga diyakini adalah salah seorang
menganjur Islam di tanah Mandar. Ditempat itu pula, tepat dipintu masuk
makam jelas terbaca monument ordinantie nomor 238 tahun 1931 yang
diperkirakan menyebarkan Islam di Mandar sekitar Abad ke-16 M..
Lantas bagaimana dengan Islam di wilayah Pitu Ulunna Salu. Baik dicoba
pula dibongkar sedikit memori sejarah peradaban perkembangan Islam di
daerah tersebut. Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Abbas (1999), yang
menyebutkan, bahwa memahami sejarah awal mula Islam dikenal di Pitu
Ulunna Salu terjadi sekitar abad ke-17 dan ke-18 yang ditandai dengan
kehadiran Tuanta di Bulobulo di daerah tersebut dan membuat Indo
Kadanene’ atau yang bergelar Todilamung Sallang (dimakamkan dalam
keadaan beragama Islam-pen). Yang lalu susul menyusul diikuti oleh
raja-raja di persekutuan Pitu Ulunna Salu tersebut, seperti Indo
Lembang, Tomakaka’ Mambi, Tomakaka’ Matangga. Kecuali Tabang, Tabulahan
dan Bambang hampir semua kerajaan-kerajaan di persekutuan Pitu Ulunna
Salu mengikuti dan memeluk agama Islam.
Sedang Sarman Sahudding (2004) menulis, Islam pertama kali datang dibawa
oleh para pedagang dari wilayah pesisiran pantai, seperti Haji
Cendrana, Haji Tapalang, Haji Pure dan Daeng Pasore dan itu terjadi
sekitar akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18. Daerah yang pertama
didatangi oleh pedagang tadi untuk menyebarkan Islam tersebut adalah
Lembang Matangga atau daerah Posi’ melalui daerah Mapi dan Tu’bi. Hal
lain yang juga dapat dijadikan titik tumpu penelusuran sejarah peradaban
Islam di Pitu Ulunna Salu adalah melalui ditemukannya kuburan tua di
daerah Matangga yang oleh masyarakat setempat diyakini sebagai kuburan
tempat dikebumikannya To Salama’ atau sang pembawa Islam pertama kali ke
daerah mi. Konon sebelumnya pernah datang dua orang yang tak dikenal
sebagai pembawa Islam pertama.
Namun yang satunya kembali, sedang yang satunya lagi tinggal dan lalu
meninggal di daerah Lembang Matangga, hingga akhirnya dikebumikan di
tempat tersebut. Dari kuburan tempat dikebumikannya itulah kemudian,
lalu dianggap keramat oleh peduduk sekitar yang hingga kini diyakini
adalah kuburan Wall sang pembawa dan penyebar Islam di wilayah Pitu
Ulunna Salu. Sedang daerah kedua tempat penyebaran Islam di wilayah
persekutuan ini adalah di daerah Talipukki. Sebagai Bahagian dari
Lembang Mambi, di daerah ini juga ditemukan kuburan yang sama, juga
diyakini sebagai pekuburan To Salama’ yang dipercaya pertama kali
membawa Islam ke Daerah Talipukki. Demikian pula halnya dengan daerah
Lembang Aralle, dimana dari daerah ini didapatkan pembuktian adanya
Daeng. Mappali yang tak lain adalah cucu dari Kada Nene’. Yang lalu
dipercaya sebagai orang yang pertama memeluk Islam. Hal itu terbukti
dengan gelar yang disandangkan atasnya yakni, TodilamungSallang(yang
dikebumikan dalam keadaan muslim-pen). Sedang di Lembang Rentebulahan,
juga dikenal seorang nama Tomesokko’ Sallang (yang berkopiah muslim-pen)
yang tak lain adalah cucu dari salah seorang cucu Indo Lembang di
Rantebulan.
Misalnya asumsi yang dikemukakan oleh Andi Syaiful Sinrang. I
Salarang Tomatindo di Agamana Maradia Pamboang, ayah dari Tomatindo di
Puasana Maradia Mamuju, pada tahun 1608 menjalin hubungan persahabatan
dengan Aji Makota Sultan Kutai VI (1545-1610), yang dibuktikan dengan
adanya syair: “tenna diandi ada’na // nama’ anna’ jambatang // anna
silosa // Kute anna Pamboang” (Andaikata ada jalan // akan kubuat
jembatan // agar tersambung // Kutai dengan Pamboang. Dan yang paling
terkenal, syair lagu “Tengga-tenggang Lopi”, yang didalamnya mensiratkan
orang Mandar tidak mau makan babi yang dihidangkan bangsawan di Kutai.
Kesimpulannya, Islam telah masuk di Mandar sebelum tahun 1608.
Sebagai wilayah yang mendapat pengaruh atau kekuasaan kerajaan di
selatan (awalnya Kerajaan Siang untuk kemudian Kerajaan Goa), agama
Islam masuk ke daerah Mandar berlangsung dalam abad ke-16. Penyebar
Islam di Mandar yang diketahui antara lain, Syekh Abdul Mannan Tosalamaq
Disalabose, Sayid Al Adiy, Abdurrahim Kamaluddin, Kapuang Jawa dan
Sayid Zakariah. Belum diketahui hubungan mereka di atas dengan tiga
penyebar Islam dari Minangkabau yang mengislamkan Kerajaan Luwu’ dan
Kerajaan Goa, apakah sebagai kolega, sebagai guru-murid, ataukah
kedatangan ulama-ulama di Mandar atas perintah kerajaan-kerajaan Islam
besar, misalnya Johor, Goa, atau Ternate.
Pionir penyebar Islam di Mandar
Salah satu penyebar Islam di atas, Sayid Al Adiy, menjadikan
Lambanang sebagai pusat penyebaran Islam di Mandar. Yang mana, saat ini
masih bisa kita lihat situs masjid tertua di Mandar, Masjid Lambanang.
Desa Lambanang terletak di Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali
Mandar. Beberapa puluh meter di atas permukaan laut, tepatnya di balik
bukit “Buttu Lambanang”, yaitu perbukitan di utara Pambusuang. Arah
masuk jalannya terdapat di Desa Galung Tulu ke arah kanan bila datang
dari Polewali (dari kota Polewali kira-kira 40km).
Tak jauh dari masjid tersebut terdapat makam Sayid Al Adiy, yang bergelar Annangguru Ga’de. Dia keturunan Malik Ibrahim dari Jawa.
Dalam Lontara Balanipa, Abdurrahim Kamaluddin atau “Tosalamaq
Dibinuang” pertama kali mendarat di Galetto, Tammangalle (situs
pelabuhan kuno di Mandar yang hanya berjarak beberapa kilometer dari
Lambanang). Bangsawan pertama yang diislamkan oleh Abdurrahim Kamaluddin
adalah Kanne Cunang “Mara’dia” Pallis, kemudian Kakanna I Pattang
Daetta Tommuane, Raja Balanipa ke-4. Daetta Tommuane adalah putra
Todijalloq, “Mara’dia” Balanipa yang ke-3, ibunya dari Napo Balanipa.
Kawin dengan sepupunya Daetta Towaine, putri Tomepayung, “Mara’dia”
Balanipa yang ke-2. Naik tahta 1615. Pada masanya mulai diadakan atau
dibentuk lembaga “Mara’dianna Saraq” (Raja di Bidang Syara/Agama’),
disebut Kali ‘Kadi’.
Ucapannya yang sangat terkenal dalam lontar Mandar dan banyak dihafal oleh orang Balanipa: Naiyya
maraqdia, tammatindoi di bongi, tarrarei di allo, na mandandang mata
dimamatanna daung ayu, diamalimbonganna rura, diamadinginna litaq,
diajarianna banne tau, diatepuanna agama (Adapun seorang raja,
tidak dibenarkan tidur lelap di waktu malam, berdiam diri dan berpangku
tangan di waktu siang hari. Ia wajib selalu memperhatikan akan kesuburan
tanah dan tanam-tanaman, berlimpah ruahnya hasil tambak dan perikanan,
damai dan amannya negeri/kerajaan, berkembangbiaknya manusia/penduduk
dan mantap teguhnya agama).
Beliau merupakan perintis berdirinya semacam pesantren yang disebut muking ‘mukim’ yang pertama, tempat mendidik empat puluh orang kader pemimpin agama di Kerajaan Balanipa. Tempat muking
itu di Tangnga-Tangnga (sekarang dalam wilayah Desa Tangnga-Tangnga,
Kec. Tinambung, Kab. Polman). Di Tangnga-Tangnga juga didirikan masjid
pertama di Kerajaan Balanipa menjadi Masjid Kerajaan Balanipa.
Penyebaran Islam dan cerita gaib
Waktu ke waktu, penyebaran Islam di Mandar berkembang pesat dan
cepat. Fenomena ini cukup mengherankan, sebab tidak butuh waktu lama
untuk menjadikan Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya
Mandar. Awalnya, penyebar Islam hanya menitikberatkan perhatian dalam
hal pemberlakuan syariat, menekankan tata cara peribadatan dan perayaan
ritual Islam yang benar, seperti penyunatan, perkawinan, dan penguburan.
Dalam hal larangan mengkonsumsi daging babi dan berzina sangat
dilarang, tetapi larangan lain seperti minum tuak dan opium, meminjamkan
uang riba, berjudi, dan mempersembahkan sajian ke tempat keramat dan
memuja benda pusaka agaknya tidak terlalu ditegakkan.
Salah satu strategi penyebaran Islam di Mandar adalah memperlihatkan
dan atau menceritakan hal-hal gaib bagi orang-orang yang meragukan
kemampuan penyebar Islam. Itulah sebabnya, hampir semua penyebar Islam
di awal-awal penyebaran (hingga tahun 60-an) adalah orang-orang berbasis
tarekat.
Misalnya kisah Syekh Al Ma’ruf, salah satu murid To Salamaq di
Binuang, yang diragukan pendapatnya tentang arah kiblat di masjid yang
dia bangun. Dia lalu melubangi dinding pengimaman masjid sebelah barat.
Para pemrotes disilakan datang ke dinding pengimaman dan mengintip
melalui lubang dinding. Semuanya melihat Ka’bah di Mekkah. Rakyat di
Binuang dan sekitarnya makin bertambah hormat kepadanya. Sejak itu
masyarakat memberikan gelar Saiyyeq Losa ‘Sayid Tembis’. Maksudnya,
Orang yang Terhormat, yang pandangannya tembis, dapat melihat hal-hal
dan benda-benda yang jauh.
Lain lagi kisah Syekh Syarif Ali, penyebar agama Islam yang datang
dari Mekkah. Konon meninggalkan Mekkah bersama saudaranya, Syekh Syarif
Husain melalui laut, dengan mengendarai selembar tikar sembahyangnya.
Kemudinya tongkat besi panjang dua meter. Ada tujuh tongkat yang
berganti-ganti dijadikan kemudi. Perjalanan ditempuh tujuh hari tujuh
malam. Saat tiba di Mandar, dia memilih Lakkaqding Somba (Kec. Sendana,
Kab. Majene), membangun sebuah masjid di sana dan kawin dengan Manaq.
Mempunyai keturunan tiga orang anak: Syekh Haedar tinggal di Lakkading
Somba, Syekh Muhammad tinggal di Luaor Pamboang, dan Syekh Ahmad yang
tinggal di Salaparang.
Ulama paling terkenal di Mandar saat sekarang adalah Tosalamaq Imam
Lapeo (biasa disingkat “Imam Lapeo” saja). Nama aslinya K. H. Muhammad
Tahir. Dia seorang ulama sufi. Diperkirakan lahir tahun 1838 di
Pambusuang (Kec. Balanipa, Kab. Polman). Di masa kanak-kanak bernama
Junaihim Namli. Wafat usia 114 tahun, tanggal 17 Juni 1952 di Lapeo
(sekarang wilayah Kec. Campalagian, Kab. Polman). Dimakamkan di halaman
Masjid Nurut-Taubah di Lapeo yang dibangunnya. (Di daerah Mandar lebih
dikenal dengan sebutan Masigi Lapeo ‘Masjid Lapeo’ yang terkenal dengan
menaranya yang tinggi). Makamnya, sampai saat sekarang ini banyak
dikunjungi/diziarahi oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah.
Ada satu kisah kekeramatan Imam Lapeo yang dipercaya kebenarannya.
Suatu saat, Imam Lapeo sementara memberikan pengajian, tiba-tiba
pengajian dihentikan beberapa saat. Ia keluar ke teras, menatap ke
angkasa raya seraya tangannya dilambai-lambaikan. Setelah itu masuk
kembali untuk melanjutkan pelajaran kepada murid-muridnya. Sebelum
pengajian dilanjutkan kembali, salah seorang muridnya bertanya tentang
apa yang barusan To Salamaq Imam Lapeo kerjakan. Dijawab, dia menolong
sebuah perahu yang hampir tenggelam di tengah laut karena serangan badai
dan amukan ombak besar. Beberapa hari kemudian, seorang tamu dari Bugis
datang ke rumah To Salamaq Imam Lapeo mengucapkan terima kasih. Menurut
pengakuannya, perahunya hampir tenggelam beberapa hari yang lalu di
sekitar pulau-pulau Pangkajene. Yang menolongnya adalah K.H. Muhammad
Tahir To Salamaq Imam Lapeo yang tiba-tiba dilihatnya datang berdiri di
bagian kepala perahunya. Seketika itu juga ombak menjadi tenang, dan
badai pun reda.
Terakhir, ulama penyebar Islam yang diyakini ke-karamah-annya adalah
K. H. Muhammad Saleh. Dikenal sebagai salah seorang pionir ulama yang
membawa, mengajarkan, dan mengembangkan Tarekat Qadiriyah di Mandar.
Beliau lahir pada tahun 1913 di Pambusuang. Usia 15 tahun menuju tanah
suci untuk menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu tarekat. Sewaktu
bekerja di Mamuju, tepatnya di saat membaca khutbah di salah satu masjid
di Tappalang, K. H. Muhammad Saleh dikirimi ilmu hitam. Namun berkat
kekaramahannya, ilmu sihir yang berwujud cahaya bola api tidak mengenai
dirinya. Belakangan, penyihir yang melakukannya meminta maaf. Masih di
Tappalang, juga pernah K. H. Muhammad Saleh hendak diracun dengan ilmu
hitam. Nasi yang dihidangkan kepadanya berubah wujud menjadi ulat dan
ular. Tapi itu tak mempan untuk mencelakai dirinya.
Ditilik dari sejarah pengaruh agama-agama samawi yang masuk ke
Sulawesi Barat, tampaknya agama Kristen lebih dulu daripada agama Islam.
Agama Kristen dibawa oleh orang-orang Portugis (belakangan Belanda,
Jerman dan beberapa negara Eropa), sedangkan agama Islam oleh orang
Arab, Melayu, dan Jawa. Oleh banyak faktor, khususnya pemahaman terhadap
budaya setempat, pengaruh Kristen tidak begitu mendalam (sebagaimana
yang terjadi di Sulawesi Utara).
Strategi Islamisasi oleh penyebar Islam menjadikan kaum bangsawan
sebagai kelompok yang harus pertama kali diislamkan yang pada gilirannya
memudahkan mengajak rakyatnya memeluk Islam. Strategi lain adalah
ajaran Islam tidak secara frontal diterapkan, khususnya dalam beberapa
praktek ritual. Peninggalan animisme yang masih bisa ditolerir
disesuaikan dengan praktek Islam. Ini menjadikan kaum pribumi bisa
menerima dengan baik. Belum lagi penggunaan ilmu gaib untuk membuktikan
kekuatan seorang penyebar Islam.
(Muhammad Ridwan
Alimuddin)
Sumber : https://mamujuethnic.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar