Assalamu Alaikum,  lulluare...!   |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Selayang Pandang Transmigran Jawa di Desa Bumiayu Kabupaten Polewali Mamasa

Written By ian on Rabu, 08 Juli 2015 | 05.40


Imigran yang baru tiba di Sungai Mapilli, Mandar. Foto ini disalin dari Situs Web Tropen Museum Belanda (Pemotretan sekitar Tahun 1937). Diambil dari situs http://kampung-mandar.web.id  

Pendahuluan

Bumiayu merupakan nama sebuah desa di wilayah pemukiman transmigran suku bangsa jawa di Daerah Tingkat II Kabupaten Polawalli Mamasa (Polmas). Sebelum bernama bumiayu, wilayah tersebut bernama ”Lambuku”

Perubahan nama dari Lambuku menjadi Bumiayu merupakan hasil musyawarah sesepuh dan pemuka masyarakat transmigran suku bangsa Jawa yang berasal dari berbagai pelosok kampung di pulau Jawa, seperti diantaranya daerah  Bilitar, Tulung Agung, Ponorogo, Madiun.

Kesepakatan pemberian nama Bumiayu wilayah pemukiman tersebut, agar para masyarakat transmigran dapat betah tinggal diwilayah pemukimannya yang baru dengan beranggapan bahwa nama Bumiayu dianggapnya sama dengan nama daerah yang ada di tempat asal mereka. Lebih dari itu, pemberian nama Bumiayu disesuaikan dengan kondisi wilayah pemukiman tersebut, yang mana kata bumi diartikan tanah dengan segala bentuk dan kegunaanya. Sedangkan kata ayu berarti cantik, artinya keindahan dan kesuburan tanahnya yang patut dicintai.

Bumiayu sebagai pemukiman penduduk transmigrasi asal pulau Jawa., dalam struktur pemerintahan negera Republik Indonesia berada dalam wilayah administratif Kecamatan Wonomulyo kabupaten Polewali Mamasa (Polmas).

Sejarah Kedatangan Transmigran   
         

Kedatangan transmigran Jawa di desa Bumiayu, tidak terlepas dari rencana pemerintahan Belanda setelah memantapkan kedudukannya di daerah Sulawesi Selatan akan mengadakan pemindahan penududuk dari daerah yang padat penduduknya (Pulau Jawa) ke daerah yang masih jarang penduduknya, termasuk Sulawesi  Selatan

Rencana pemindahan dari pulau Jawa ke Sulawesi Seletan, dibuktikan dengan adanya Ssurat Pemerintah yang berasal dari pemerintah pusat ditunjukkan kepada Gubernur Sulawesi pada tahun 1919. Namun pada tahun 1919 tersebut, rencana  pemindahan penduduk  belum dapat terwujud, disebabkan karna situasi dan kondisi yang belum sepenuhnya terjamin. Dan nanti pada tahun 1937, merupakan tahun pertama kalinya penduduk pulau Jawa tiba di daerah Sulaesi Selatan.

Penduduk pulau Jawa pertama kali tiba di daerah Sulawesi Selatan (1937) diprakarsai oleh pemerintah belanda, yang diamanka kolonisasi. Jumlah kolonisasi yang pertamakali tiba di daerah Sulawesi Selatan (1937), sebanyak kurang lebih 500 orang atau 113 kepala keluarga. Kedatangan kolonisasi yang pertama kali ini langsung ditempatkan di lokasi konsentrasi Mapilli Kecamatan Wonomulyo Daerah Tingkat II Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas). Lokasi yang dimaksud memang sudah dipersiapkan sebelumnya oleh pemerintah Belanda.

Kedatangan tahap kedua bagi kolonisasi, yaitu pada tahun 1938. Jumlah kolonisasi yang datang pada tahun 1938, diperkirakan kurang lebih 200 kepala .lm8 keliarga. Kedatangan kolonisasi pada tahun pertama dan tahun kedua (1937 dan 1938), belumlah merupakan penduduk yang akan membangun wilayah pemukiman Bumiayu yang dikenal dewasa ini. Dan barulah pada tahun 1939, merupakan tahun ketiga kedatangan kolonisasi di Sulawesi Selatan yang membangun wilayah pemukiman transmigran yang dewasa ini dikenal dengan nama desa Bumiayu. Jumlah personil yang datang dari pulau Jawa ke Sulawesi Selatan pada tahun ketiga (1939) diperkirakan kurang lebih 80 kepala keluarga.

Motivasi umum yang menjadi pertimbangan masyarakat transmigran Jawa memilih Wonomulyo sebagai daerah tujuan, karena wilayahnya mudah dijangkau, karna wilayah Wonomulyo berada pada lintasan jalan raya (jalan poros) yang menghubungkan Kabupaten Polewali Mamasa dengan kabupaten Majene.

Dari segi potensi wilayah, tanah sangat subur, dan kemungkinan untuk pembangunan sarana irigasi didukung oleh tersedianya sumber air yang cukup.

Demikian pula Perkampungan penduduk transmigran Jawa di Desa Bumiayu, pada awalnya bentuk berbanjar tidak bersambung, dan merupakan bentuk desa kilonisasi. Bangunan rumah tinggal letaknya lebih 10 meter dari jalan dari gang yang ada dalam wilayah pemukiman. Keadaan pekarangan berpetak-petak, dan tiap dua petak dipotong oleh jalan atau lorong bawah (bukan rumah panggung). Bentuknya menggunakan arsitektur rumah orang Jawa, dengan ciri utama beratap genteng, berlantai tanah, dan berdinding bambu yang dianyam.

Latar Belakang Sosial Budaya  
          

Bahasa pergaulan sehari-hari sesama warga transmigran Jawa di desa Bumayu adalah bahasa Jawa. Namun bagi anak-anak atau generasi penerus belakangan ini, umumnya tidak bisa lagi berbahasa Jawa Krama Inggil secara baik. Hal ini disebabkan karena penepetan kata-kata yang termasuk Krama Inggil sudah banyak tidak mengenalnya .

Kesenian Jawa masih juga ditemukan di Desa Bumiayu seperti : ketoprak; Wayang kulit; kua lumping; tari Jawa : dan wayang orang. Dan bahkan wayang orang dari tari Jawa merupakan satu kesenian yang masih rutin dilaksanakan, utamanya saat berlangsungnya pesta perkawinan dan dan upacara khitanan anak.

Selain itu, di desa Bumiayu, masih dijumpai suatu kegiatan semalam suntuk dengan memperdengarkan lakon wayang melalui kaset  (radio tape).

Kegiatan upacara-upacara selamatan yang dilakukan menurut tradisi Jawa sepertu : upacara daur hidup dan upacara hari-hari besar lainn islam.

Pelaksanaan hari-hari besar Islam yang dilakukan oleh masyarakat transmigran di desa Bumiayu, tidak berbeda dengan apa yang dilakukan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya. Sedangkan upacara pelaksanaan daur hidup yang paling mendapat perhatian di desa Bumiayu adalah upacara yang berhubungan dengan kematian. Pada upacara kematian seseorang dilakukan serangkaian kegiatan menurut urutan yakni:

- Upacara pada hari meninggalnya seseorang, dalam bahasa Jawa setempat disebut “Gebelak”
- Upacara setelah tiga hari kematian seseorang , dalam bahasa Jawa setempat disebut ‘Nelungdina’
- Upacara setelah tujuh hari meninggalnya seseorang, dalam bahasa Jawa setempat disebut “Mitungdina”
- Upacara setelah empat puluh hari meniggalnya seseorang, dalam bahasa Jawa disebut setempat disebut ‘Matang puluh dina’
- Upacara setelah seratus hari meniggalnya seseorang, dalam bahasa Jawa setempat disebut ‘Nyatus’
- Upacara pertama dan tahun kedua meniggalnya sesorang
- Upacara hari keseribu meninggalnya seseorang


Dari kesemua rangkaian upacara kematian yang disebutkan di atas, teknis pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan keluarga yang berduka, misalnya ada keluarga yang memperingatinya dengan jalan menyembelih hewan seperti kerbau, sapi, kambing dan lain sebaginya dengan mengundang warga setempat untuk makan bersama. Selain itu ada pula keluarga yang memperingati hari kematian tersebut dengan mengundang penceramah memberikan santapan rohani kepada keluarga yang berduka serta memberi doa selamat kepada orang yang meninggal, terutama bagi pemeluk agama Islam.
   
Pada bagian ini, dapat ditarik beberapa  kesimpulan dari hasil pemaparan pada bagian lain sebelumnya, sebagai berikut :

Pemberian nama Bumiayu pada lokasi pemukiman transmigran dari Pulau Jawa dengan berdasar bahwa Bumiayu merupakan nama kampung yang ada di daerah asal mereka  (masyarakat transmigran).
Pemberian nama Bumiayu agar mereka dapat betah tinggal di lokasi pemukiman baru separti dimaksud, artinya dengan nama Bumiayu seolah-olah mereka tetap berada pada daerah asalnya.

Kedatangan masyarakat Jawa ke Sulawesi Selatan sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1937 dengan jumlah kurang lebih 113 kepala keluarga. Dan masyarakat yang datang pada tahun 1937, belum merupakan masyarakat transmigran yang membangun wilayah pemukiman yang dikenal dewasa ini (Bumiayu). Dan baru pada tahun 1939 yang merupakan tahun ketiga kedatangan masyarakat dari pulau Jawa dengan jumlah rombongan diperkirakan kurang lebih 80 kepala keluarga yang membangun pemukiman Bumiayu yang di kenal dewasa ini sebagai suatu wilayah pemukiman transmigran Jawa .

Kedatangan masyarakat Jawa ke Sulawesu Selatan, atas tuntutan program pemerintah Belanda yang ingin menyebarkan penduduk yang padat ke tempat dimana penduduknya masyakat masih jarang .

Sumber : http://www.mandar-kita.com/
Bacaan :
Komalasari, Andi: Pemukiman Transmigran Jawa Sebagai Kesatuan Ekosistem di Desa Bumiayu Kabupaten Polewali Mamasa, Fisipol Unhas, Ujungpandang.

Hamid, Abu, dkk: Pemukiman Sebagai Kesatuan Ekosistem Daerah Sulawesi Selatan, Departemen Pendidikan dan kebudayaan, Dirjenbud, Jakarta 

0 komentar:

Posting Komentar