Assalamu Alaikum,  lulluare...!   |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Mosso di Antara Banua Kaiyyang Kerajaan Balanipa

Written By ian on Kamis, 23 Juli 2015 | 10.37

 
Hampir semua kampung kuno di Sulawesi Barat berada di daerah perbukitan. Demikian halnya dengan negeri-negeri pembentuk Kerajaan Balanipa, semua berada di atas bukit, berkisar 100 – 300 meter di atas permukaan laut.
 
Napo dan Samasundu paling mudah diakses, jalan aspal yang bagus. Bisa lewat Limboro, bisa juga lewat samping SMA 1 Tinambung (Layonga). Dari jalan trans Sulawesi, Napo dan Samasundu berjarak 3 – 4 kilometer. Kurang lebih 3 kilometer dari Napo atau terus “ke dalam” lagi, Toda-todang berada. Yang relatif susah medan ke sana dan posisinya paling tinggi dari permukaan laut adalah Mosso.
 
Untuk menuju Mosso, gerbang aksesnya berada di Desa Tammangalle, di jalan yang sama menuju SMP 2 Balanipa. Dari jalan trans, Mosso berjarak sekitar 5 kilometer. Kadang jalan mulus dengan aspal butas dan cor beton, tapi lebih banyak rusak berupa ‘sirtu’ batu-batu atau era aspal Buton. Jalan menuju Mosso melalui punggung-punggung bukit, di atas situ akan nampak pemandangan indah.
Muncul pertanyaan mengapa nenek moyang kita dahulu mengapa mereka memilih tinggal di bukit dibanding dataran rendah?
 
Meski terasa jauh antara Mosso dengan Napo, Samasundu dan Toda-todang, sebab kalau naik motor jarak tempuh setidaknya 10 km, sejatinya mereka amat berdekatan. Ya, bila kita jalan kaki, kurang sejam waktu tempuh dari satu kampung ke kampung yang lain. Atau kalau ditarik garis lurus, antar empat kampung tersebut, jaraknya ialah Mosso – Toda-todang 1,7 km; Mosso – Napo 2,7 km; Napo – Toda-todang 1,8 km; dan Napo – Samasund 1,4 km.
Jadi, kakek nenek kita dulu tidak berjalan memutar menuju arah pantai lalu naik bukit lagi, tapi menelusuri jalan setapak, naik turun bukit dan lembah. Istilahnya kalau dibawa ke dunia pariwisata, “tracking”.
 
Secara umum, “Appeq Banua Kayyang” dan kampung-kampung kecil lainnya, misal Pallis, Panuttungang, Salarriq, dan lain-lain terdapat di punggung “Bukit Barisan” ala Balanipa, yaitu jejeran perbukitan dari Buttu Lambangang hingga Buttu Tammengundur. Salah satu bukit yang menjadi destinasi idaman “traveler” lokal Polewali Mandar adalah Buttu Bendara yang tingginya sekitar 500 dpl. Di atas puncak bukit ini, jika cuaca cerah, Parepare bisa kelihatan apalagi Polewali.
Mosso pada dasarnya berada di lembah atau berada di antara lereng bukit kecil. Sangat strategis sebagai kampung yang susah diakses musuh. Dari pesisir, Mosso tidak kelihatan. Beda dengan kampung tetangganya, yaitu Pallis. Dari perbatasan Polman – Majene, Pallis kelihatan jelas.
 
Tapi ketika naik di atas bukit yang banyak terdapat di sekitar Mosso, pengamatan bisa dikatakan sempurna. Khususnya ke kawasan pesisir, tepatnya muara Sungai Mandar. Membayangkan ketika masyarakat Mosso menyaksikan perahu yang membawa Todilaling memasuki Sungai Mandar untuk kemudian menuju Soreang (Kandeapi di Tinambung sekarang ini).
 
Pada bukit yang lain, Napo, Samasundu serta Toda-todang juga kelihatan jelas. Intinya, antar keempat kampung ini memang bertetangga. Ketika membandingkan dengan kampung-kampung di Kalumpang (Mamuju), nampak jelas kemiripannya. Sama-sama berada di perbukitan dan dulunya (antara Mosso dengan tiga yang lain) mereka adalah satu keluarga.
Kata “banua” atau “wanua” adalah kata kuno Austronesia yang berarti rumah. Kata ini masih digunakan oleh masyarakat Kalumpang dan Mambi, bahwa bahasa setempat untuk rumah adalah “banua”. Bandingkan dengan kerabat jauh kita di Samudera Pasifik yaitu masyarakat Maori yang juga menggunakan kata “whenua”.
 
Dulu “banua” adalah rumah, yang mana satu keluarga besar tinggal. Bukan satu kepala keluarga, tapi beberapa. Itu sebab, ketika kepala keluarga bertambah, ukuran rumah “banua” bertambah panjang. Praktek demikian pernah dilakukan masyarakat Kalumpang (rumah disebut “banua batang”), juga orang Dayak di Kalimantan.
 
Ketika “banua” tak bisa lagi menampung atau terjadi perubahan pola hidup (serta persaingan sosial), maka ada keluarga yang memisahkan diri. Mereka mendirikan “banua” tersendiri. Lama-lama, ada banyak “banua” di satu tempat sehingga kata “banua” bergeser, dari rumah menjadi sebuah kampung. Adapun kata kampung itu sendiri berasal dari Bahasa Portugis, yaitu “campo”. Dalam Bahasa Portugis, “campo” lingkungan permukiman di luar rumah-rumah Portugis.
Sebagai satu keluarga besar adalah modal utama sehingga Napo, Samasundu, Mosso dan Toda-todang bisa dengan mudah bersekutu melawan Passokkorang. Dalam Lontar Pattodioloang Mandar, Passokkorang berasal dari timur “Appeq Banua Kaiyyang”. Kemungkinan besar di sekitaran Sungai Maloso, sebab di situ (saat ini) juga ada nama tempat bernama Passokkorang. Dan mengapa aliansi antara Pitu Baqbana Binanga dengan Pitu Ulunna Salu dilakukan di Luyo (tak jauh dari Sungai Maloso) atau “Allawungang Batu di Luyo”, tentu tak lepas dari perlawanan terhadap Passokkorang.
 
Meski sekarang ini Mosso hanya berupa desa kecil yang berada di atas bukit, pada waktu lampau di masa Kerajaan Balanipa masih terbentuk, Mosso memiliki wilayah cukup luas. Malah, Pambusuang dan desa sekitarnya (yang sekarang ini penduduknya beberapa kali lipat dari Mosso) adalah daerah di bawah kekuasaaan Mosso. Pambusuang adalah “Anaq Banua-nya” Mosso.
 
Keunikan Mosso dibanding kampung-kampung kuno lain antar “Appeq Banua Kaiyyang” adalah di sana masih tersimpan pusaka paling terkenal Todilaling atau “maraqdia” (raja) pertama Kerajaan Balanipa, yaitu gong Taqbilohe. Gong tersebut adalah rampasan perang armada Kerajaan Gowa ketika melakukan penyerangan ke Kerajaan Lohe (salah satu nama tempat di Nusa Tenggara Barat).
Kerajaan Gowa beberapa kali menyerang Kerajaan Lohe tapi tak pernah takluk. Nanti penyerangan dipimpin I Manyambungi (nama lain dari Todilaling), barulah Kerajaan Lohe berhasil dikalahkan. Benda pusaka kerajaan tersebut diambil oleh armada Kerajaan Gowa sebagai simbol penaklukan.
 
Ketika I Manyambungi akan kembali ke kampung halamannya mengabdi, oleh Karaeng Gowa menghadiahkan kepada I Manyambungi rampasan perang paling berharga yang pernah diperoleh Kerajaan Gowa, yaitu gong Taqbilohe dan keris Pattarappang. Adapun keris Pattarappang adalah keris yang didapatkan I Manyambungi ketika memimpin armada Kerajaan Gowa dalam menaklukkan Pariaman (Sumatera Barat).
 
 
Sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar