Assalamu Alaikum,  lulluare...!   |  sign in  |  registered now  |  need help ?

“Pikaer Anjoro” Rahasia Kelembutan Sarung Sutera Mandar

Written By ian on Kamis, 23 Juli 2015 | 10.40

Sarung sutera terkenal akan kelembutannya, namun jika salah-salah pengolahan benang dalam proses pembuatannya, benang akan kasar yang berdampak pada kualitas sarung. Orang yang tak terlibat di dunia pengolahan sutera di Mandar mungkin tak pernah menduga atau tak bisa menebak bahan apa yang digunakan.
 
Ternyata bahannya bisa dikategorikan sebagai sampah, yang di Mandar maksimal digunakan sebagai kayu bakar. Beda di Bali atau Yogyakarta, dijadikan kerajinan. Sampah tersebut adalah “pikaer anjoro” atau tangkai yang “memegang” buah kelapa. Disebut “pikaer” (sapu) sebab jika tak ada sapu lidi, bahan tersebut bisa digunakan sebagai sapu darurat.
 
Penggunaan “pikaer anjoro” sangat bersahaja tapi sangat berdampak pada kualitas sarung sutera yang diolah. Caranya begini. Benang sutera yang masih mentah, yang baru selesai diolah dari kokon, itu belum bisa diolah atau ditenun. Harus dimasak dan dicuci atau dalam bahasa dunia sutera di Mandar diistilahkan “sassa” (cuci).
 
Untuk “massassa” benang sutera tidak digunakan sabun, tapi abu (“tai au”) “pikaer anjoro”. Beberapa tangkai “pikaer anjoro” kering dikumpul lalu dibakar. Bisa di dalam tungku batu asal di tungku tersebut tidak ada abu atau sisa pembakaran dari kayu lain. Setelah “pikaer anjoro” habis terbakar, akan tersisa abu. Setelah bara tak ada, abu tersebut dimasukkan ke dalam ember atau kuali, dicampur dengan air secukupnya (jumlahnya disesuaikan dengan sutera yang akan diolah).
 
Campuran abu dan air diaduk untuk kemudian didiamkan semalaman. Setelah abu mengendap sempurna, air jernih yang berada di atas endapan diambil, dimasukkan ke dalam panci yang akan digunakan “memasak” benang sutera. Air kelihatan jernih, tapi rasanya licin. Persis seperti memegang air sabun. Bedanya, ini tak berbusa.
 
Air dibuat mendidih. Api di bawah panci dikurangi sedikit (idealnya menggunakan kayu bakar) untuk selanjutnya benang yang akan diolah dimasukkan ke dalam. Sebelum dimasukkan ke dalam panci, sutera yang akan dimasak padanya diikatkan selembar daun kelapa yang masih muda. Fungsinya sebagai pegangan ketika sutera diaduk. Adapun alat aduk yang biasa digunakan adalah bambu kecil yang dalam bahasa Mandar-nya “taroqda”, yang kalau digunakan di alat penenunan disebut “toraq”.
 
Sutera direndam dalam air panas di panci yang mana di bawah panci tetap ada bara untuk menjaga suhu air tetap panas. Makin lama direndam (diselingi pengadukan) makin bagus. Biasanya 1-2 jam.
Setelah sutera “masak”, sutera dikeluarkan dari panci untuk kemudian dicuci dengan air dingin agar terbuang sisa kotoran yang melekat padanya. Dibilas sampai tiga kali. Sutera tersebut kemudian diperas. Cara memerasnya: rangkaian benang sutera dikaitkan pada tonggak yang keras. Lalu dipelintir menggunakan “toraq”. Dilakukan sekeras mungkin. Jangan khawatir sutera putus.
 
Pemerasan selesai, berikutnya sutera diangin-anginkan. Jangan terkena panas matahari langsung sebab akan membuat sutera menjadi keras. Rangkaian benang sutera tersebut diurai untuk memudahkan air yang terkandung di benang menguap. Di sini pekerjaan belum selesai.
 
Sutera tersebut ternyata masih menerima perlakukan keras, yaitu “disitta-sittaq”. Rangkaian sutera dikaitkan pada bambu (“tokong”) yang berfungsi sebagai jemuran. Lalu ditarik-tarik sekeras mungkin. Proses tersebut dilakukan terus menerus sampai sutera kering. Setelah sutera kering, sutera dipintal sedemikian rupa untuk siap memasuki tahapan untuk dibuat menjadi sarung.
 
Menurut beberapa informan yang diwawancarai dalam kajian mengenai sutera Mandar, penggunaan “pikaer anjor” sudah sangat lama, sejak kakek nenek. Teknik ini disebarkan oleh Imam Janggoq di Bandung, Jawa Barat, saat dia menimba ilmu pengelolaan sutera di sana. Menurut salah seorang anaknya, Salihin, dulu bapaknya sampai mencari “pikaer anjoro” ke Cilacap, Jawa Tengah.
Penggunaan “pikaer anjoro” setidaknya menjadi tradisi di pengolah benang sutera di kawasan Kerajaan Balanipa atau Appeq Banua Kaiyyang. Informasi ini didapat dari informan yang bermukim di Pallis, Mosso, Limboro dan sekitarnya.
 
Desa Pallis Kecamatan Balanipa masih ketat menggunakan bahan “pikaer anjoro”, tapi pengolah benang sutera di Dusun Camba-camba Kecamatan Limboro menggunakan pelepah daun kelapa atau “palapaq anjoro”. Menurut Kamaq Dina, pengolah benang sutera yang masih bertahan di Camba-camba, “Ya, kita juga sering pakai pikaer anjoro tapi abunya sedikit dan susah dapat. Jadi sekarang pakai pilapaq anjoro dan hasilnya sama saja.”
 
Pengolah benang sutera pernah marak di Camba-camba. Hampir di semua rumah di sekitar Mesjid Camba-camba mengolah sutera dengan cara tradisional. Tapi sekarang ini sepertinya tinggal dua rumah tangga saja. “Sekarang kan lebih banyak pakai saqbe india yang tidak diolah lagi. Makanya saya berhenti massasa saqbe,” terang Ruqda, wanita paruh baya di Camba-camba yang pernah berprofesi sebagai pencuci sutera.
 
Menurut Kamaq Dina, sejak lajang dia sudah bekerja sebagai pencuci sutera. Sekarang dia sudah bercucu. Adapun bayaran mencuci sutera Rp 50.000 per kilogram benang sutera. “Sutera asli sudah jarang, makanya banyak yang berhenti. Hari ini saya kerja tidak seberapa, tapi minggu lalu lumayan banyak,” kata Kamaq Dina yang beberapa putrinya juga bergelut dalam kegiatan persuteraan. “Ada anak saya yang bisa menenun, ada juga tidak. Ada yang bekerja sebagai penjual sarung sutera tapi dia tidak bisa menenun,” tambah Kamaq Dina.
 
Penggunaan “pikaer anjoro” dan “pilapaq anjoro” adalah hal menarik. Penting untuk dikaji, khususnya bahan apa yang dikandungnya sehingga mujarab sebagai pelembut sutera. Meskipun sama-sama abu, abu dari kayu lain tak akan bisa menyamai abu “pikaer anjoro” dan “pilapaq anjoro” dalam melembutkan benang sutera.
Penggunaan bahan tersebut harusnya kita lindungi, yaitu mempatenkannya. Ini bisa dilalukan pihak Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat sebab bisa saja teknik ini juga digunakan pengolah sutera di kabupaten lain di Sulawesi Barat.

Sifatnya sama dengan penggunaan motif, yaitu memenuhi syarat untuk dipatenkan. Jangan sampai ada perusahaan atau industri mempatenkannya sehingga di masa mendatang para pengolah benang sutera di Mandar harus membayar untuk bisa menggunakan cara demikian. Memang itu sulit untuk terjadi (pihak industri mengklaim), tapi tak mustahil itu tak mereka lakukan. Tapi sebelum itu harus dikaji mendalam, mencari tahu apakah daerah lain juga melakukan hal yang sama.

0 komentar:

Posting Komentar