Sarung sutera terkenal akan kelembutannya, namun jika
salah-salah pengolahan benang dalam proses pembuatannya, benang akan kasar yang
berdampak pada kualitas sarung. Orang yang tak terlibat di dunia pengolahan
sutera di Mandar mungkin tak pernah menduga atau tak bisa menebak bahan apa
yang digunakan.
Ternyata bahannya bisa dikategorikan sebagai sampah, yang di
Mandar maksimal digunakan sebagai kayu bakar. Beda di Bali atau Yogyakarta,
dijadikan kerajinan. Sampah tersebut adalah “pikaer anjoro” atau tangkai yang
“memegang” buah kelapa. Disebut “pikaer” (sapu) sebab jika tak ada sapu lidi,
bahan tersebut bisa digunakan sebagai sapu darurat.
Penggunaan “pikaer anjoro” sangat bersahaja tapi sangat
berdampak pada kualitas sarung sutera yang diolah. Caranya begini. Benang
sutera yang masih mentah, yang baru selesai diolah dari kokon, itu belum bisa
diolah atau ditenun. Harus dimasak dan dicuci atau dalam bahasa dunia sutera di
Mandar diistilahkan “sassa” (cuci).
Untuk “massassa” benang sutera tidak digunakan sabun, tapi
abu (“tai au”) “pikaer anjoro”. Beberapa tangkai “pikaer anjoro” kering
dikumpul lalu dibakar. Bisa di dalam tungku batu asal di tungku tersebut tidak
ada abu atau sisa pembakaran dari kayu lain. Setelah “pikaer anjoro” habis
terbakar, akan tersisa abu. Setelah bara tak ada, abu tersebut dimasukkan ke
dalam ember atau kuali, dicampur dengan air secukupnya (jumlahnya disesuaikan
dengan sutera yang akan diolah).
Campuran abu dan air diaduk untuk kemudian didiamkan semalaman.
Setelah abu mengendap sempurna, air jernih yang berada di atas endapan diambil,
dimasukkan ke dalam panci yang akan digunakan “memasak” benang sutera. Air
kelihatan jernih, tapi rasanya licin. Persis seperti memegang air sabun.
Bedanya, ini tak berbusa.
Air dibuat mendidih. Api di bawah panci dikurangi sedikit
(idealnya menggunakan kayu bakar) untuk selanjutnya benang yang akan diolah
dimasukkan ke dalam. Sebelum dimasukkan ke dalam panci, sutera yang akan
dimasak padanya diikatkan selembar daun kelapa yang masih muda. Fungsinya
sebagai pegangan ketika sutera diaduk. Adapun alat aduk yang biasa digunakan
adalah bambu kecil yang dalam bahasa Mandar-nya “taroqda”, yang kalau digunakan
di alat penenunan disebut “toraq”.
Sutera direndam dalam air panas di panci yang mana di bawah
panci tetap ada bara untuk menjaga suhu air tetap panas. Makin lama direndam
(diselingi pengadukan) makin bagus. Biasanya 1-2 jam.
Setelah sutera “masak”, sutera dikeluarkan dari panci untuk
kemudian dicuci dengan air dingin agar terbuang sisa kotoran yang melekat
padanya. Dibilas sampai tiga kali. Sutera tersebut kemudian diperas. Cara
memerasnya: rangkaian benang sutera dikaitkan pada tonggak yang keras. Lalu
dipelintir menggunakan “toraq”. Dilakukan sekeras mungkin. Jangan khawatir
sutera putus.
Pemerasan selesai, berikutnya sutera diangin-anginkan.
Jangan terkena panas matahari langsung sebab akan membuat sutera menjadi keras.
Rangkaian benang sutera tersebut diurai untuk memudahkan air yang terkandung di
benang menguap. Di sini pekerjaan belum selesai.
Sutera tersebut ternyata masih menerima perlakukan keras,
yaitu “disitta-sittaq”. Rangkaian sutera dikaitkan pada bambu (“tokong”) yang
berfungsi sebagai jemuran. Lalu ditarik-tarik sekeras mungkin. Proses tersebut
dilakukan terus menerus sampai sutera kering. Setelah sutera kering, sutera
dipintal sedemikian rupa untuk siap memasuki tahapan untuk dibuat menjadi
sarung.
Menurut beberapa informan yang diwawancarai dalam kajian
mengenai sutera Mandar, penggunaan “pikaer anjor” sudah sangat lama, sejak
kakek nenek. Teknik ini disebarkan oleh Imam Janggoq di Bandung, Jawa Barat,
saat dia menimba ilmu pengelolaan sutera di sana. Menurut salah seorang
anaknya, Salihin, dulu bapaknya sampai mencari “pikaer anjoro” ke Cilacap, Jawa
Tengah.
Penggunaan “pikaer anjoro” setidaknya menjadi tradisi di
pengolah benang sutera di kawasan Kerajaan Balanipa atau Appeq Banua Kaiyyang.
Informasi ini didapat dari informan yang bermukim di Pallis, Mosso, Limboro dan
sekitarnya.
Desa Pallis Kecamatan Balanipa masih ketat menggunakan bahan
“pikaer anjoro”, tapi pengolah benang sutera di Dusun Camba-camba Kecamatan Limboro
menggunakan pelepah daun kelapa atau “palapaq anjoro”. Menurut Kamaq Dina,
pengolah benang sutera yang masih bertahan di Camba-camba, “Ya, kita juga
sering pakai pikaer anjoro tapi abunya sedikit dan susah dapat. Jadi sekarang
pakai pilapaq anjoro dan hasilnya sama saja.”
Pengolah benang sutera pernah marak di Camba-camba. Hampir
di semua rumah di sekitar Mesjid Camba-camba mengolah sutera dengan cara
tradisional. Tapi sekarang ini sepertinya tinggal dua rumah tangga saja. “Sekarang
kan lebih banyak pakai saqbe india yang tidak diolah lagi. Makanya saya
berhenti massasa saqbe,” terang Ruqda, wanita paruh baya di Camba-camba yang
pernah berprofesi sebagai pencuci sutera.
Menurut Kamaq Dina, sejak lajang dia sudah bekerja sebagai
pencuci sutera. Sekarang dia sudah bercucu. Adapun bayaran mencuci sutera Rp
50.000 per kilogram benang sutera. “Sutera asli sudah jarang, makanya banyak
yang berhenti. Hari ini saya kerja tidak seberapa, tapi minggu lalu lumayan
banyak,” kata Kamaq Dina yang beberapa putrinya juga bergelut dalam kegiatan
persuteraan. “Ada anak saya yang bisa menenun, ada juga tidak. Ada yang bekerja
sebagai penjual sarung sutera tapi dia tidak bisa menenun,” tambah Kamaq Dina.
Penggunaan “pikaer anjoro” dan “pilapaq anjoro” adalah hal
menarik. Penting untuk dikaji, khususnya bahan apa yang dikandungnya sehingga
mujarab sebagai pelembut sutera. Meskipun sama-sama abu, abu dari kayu lain tak
akan bisa menyamai abu “pikaer anjoro” dan “pilapaq anjoro” dalam melembutkan
benang sutera.
Penggunaan bahan tersebut harusnya kita lindungi, yaitu
mempatenkannya. Ini bisa dilalukan pihak Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat
sebab bisa saja teknik ini juga digunakan pengolah sutera di kabupaten lain di
Sulawesi Barat.
Sifatnya sama dengan penggunaan motif, yaitu memenuhi syarat untuk dipatenkan. Jangan sampai ada perusahaan atau industri mempatenkannya sehingga di masa mendatang para pengolah benang sutera di Mandar harus membayar untuk bisa menggunakan cara demikian. Memang itu sulit untuk terjadi (pihak industri mengklaim), tapi tak mustahil itu tak mereka lakukan. Tapi sebelum itu harus dikaji mendalam, mencari tahu apakah daerah lain juga melakukan hal yang sama.
0 komentar:
Posting Komentar