20.01 | 0
komentar
Video tentang Tanah Mandar
Written By ian on Sabtu, 01 Agustus 2015 | 20.01
“Pikaer Anjoro” Rahasia Kelembutan Sarung Sutera Mandar
Written By ian on Kamis, 23 Juli 2015 | 10.40
Sarung sutera terkenal akan kelembutannya, namun jika
salah-salah pengolahan benang dalam proses pembuatannya, benang akan kasar yang
berdampak pada kualitas sarung. Orang yang tak terlibat di dunia pengolahan
sutera di Mandar mungkin tak pernah menduga atau tak bisa menebak bahan apa
yang digunakan.
Ternyata bahannya bisa dikategorikan sebagai sampah, yang di
Mandar maksimal digunakan sebagai kayu bakar. Beda di Bali atau Yogyakarta,
dijadikan kerajinan. Sampah tersebut adalah “pikaer anjoro” atau tangkai yang
“memegang” buah kelapa. Disebut “pikaer” (sapu) sebab jika tak ada sapu lidi,
bahan tersebut bisa digunakan sebagai sapu darurat.
Penggunaan “pikaer anjoro” sangat bersahaja tapi sangat
berdampak pada kualitas sarung sutera yang diolah. Caranya begini. Benang
sutera yang masih mentah, yang baru selesai diolah dari kokon, itu belum bisa
diolah atau ditenun. Harus dimasak dan dicuci atau dalam bahasa dunia sutera di
Mandar diistilahkan “sassa” (cuci).
Untuk “massassa” benang sutera tidak digunakan sabun, tapi
abu (“tai au”) “pikaer anjoro”. Beberapa tangkai “pikaer anjoro” kering
dikumpul lalu dibakar. Bisa di dalam tungku batu asal di tungku tersebut tidak
ada abu atau sisa pembakaran dari kayu lain. Setelah “pikaer anjoro” habis
terbakar, akan tersisa abu. Setelah bara tak ada, abu tersebut dimasukkan ke
dalam ember atau kuali, dicampur dengan air secukupnya (jumlahnya disesuaikan
dengan sutera yang akan diolah).
Campuran abu dan air diaduk untuk kemudian didiamkan semalaman.
Setelah abu mengendap sempurna, air jernih yang berada di atas endapan diambil,
dimasukkan ke dalam panci yang akan digunakan “memasak” benang sutera. Air
kelihatan jernih, tapi rasanya licin. Persis seperti memegang air sabun.
Bedanya, ini tak berbusa.
Air dibuat mendidih. Api di bawah panci dikurangi sedikit
(idealnya menggunakan kayu bakar) untuk selanjutnya benang yang akan diolah
dimasukkan ke dalam. Sebelum dimasukkan ke dalam panci, sutera yang akan
dimasak padanya diikatkan selembar daun kelapa yang masih muda. Fungsinya
sebagai pegangan ketika sutera diaduk. Adapun alat aduk yang biasa digunakan
adalah bambu kecil yang dalam bahasa Mandar-nya “taroqda”, yang kalau digunakan
di alat penenunan disebut “toraq”.
Sutera direndam dalam air panas di panci yang mana di bawah
panci tetap ada bara untuk menjaga suhu air tetap panas. Makin lama direndam
(diselingi pengadukan) makin bagus. Biasanya 1-2 jam.
Setelah sutera “masak”, sutera dikeluarkan dari panci untuk
kemudian dicuci dengan air dingin agar terbuang sisa kotoran yang melekat
padanya. Dibilas sampai tiga kali. Sutera tersebut kemudian diperas. Cara
memerasnya: rangkaian benang sutera dikaitkan pada tonggak yang keras. Lalu
dipelintir menggunakan “toraq”. Dilakukan sekeras mungkin. Jangan khawatir
sutera putus.
Pemerasan selesai, berikutnya sutera diangin-anginkan.
Jangan terkena panas matahari langsung sebab akan membuat sutera menjadi keras.
Rangkaian benang sutera tersebut diurai untuk memudahkan air yang terkandung di
benang menguap. Di sini pekerjaan belum selesai.
Sutera tersebut ternyata masih menerima perlakukan keras,
yaitu “disitta-sittaq”. Rangkaian sutera dikaitkan pada bambu (“tokong”) yang
berfungsi sebagai jemuran. Lalu ditarik-tarik sekeras mungkin. Proses tersebut
dilakukan terus menerus sampai sutera kering. Setelah sutera kering, sutera
dipintal sedemikian rupa untuk siap memasuki tahapan untuk dibuat menjadi
sarung.
Menurut beberapa informan yang diwawancarai dalam kajian
mengenai sutera Mandar, penggunaan “pikaer anjor” sudah sangat lama, sejak
kakek nenek. Teknik ini disebarkan oleh Imam Janggoq di Bandung, Jawa Barat,
saat dia menimba ilmu pengelolaan sutera di sana. Menurut salah seorang
anaknya, Salihin, dulu bapaknya sampai mencari “pikaer anjoro” ke Cilacap, Jawa
Tengah.
Penggunaan “pikaer anjoro” setidaknya menjadi tradisi di
pengolah benang sutera di kawasan Kerajaan Balanipa atau Appeq Banua Kaiyyang.
Informasi ini didapat dari informan yang bermukim di Pallis, Mosso, Limboro dan
sekitarnya.
Desa Pallis Kecamatan Balanipa masih ketat menggunakan bahan
“pikaer anjoro”, tapi pengolah benang sutera di Dusun Camba-camba Kecamatan Limboro
menggunakan pelepah daun kelapa atau “palapaq anjoro”. Menurut Kamaq Dina,
pengolah benang sutera yang masih bertahan di Camba-camba, “Ya, kita juga
sering pakai pikaer anjoro tapi abunya sedikit dan susah dapat. Jadi sekarang
pakai pilapaq anjoro dan hasilnya sama saja.”
Pengolah benang sutera pernah marak di Camba-camba. Hampir
di semua rumah di sekitar Mesjid Camba-camba mengolah sutera dengan cara
tradisional. Tapi sekarang ini sepertinya tinggal dua rumah tangga saja. “Sekarang
kan lebih banyak pakai saqbe india yang tidak diolah lagi. Makanya saya
berhenti massasa saqbe,” terang Ruqda, wanita paruh baya di Camba-camba yang
pernah berprofesi sebagai pencuci sutera.
Menurut Kamaq Dina, sejak lajang dia sudah bekerja sebagai
pencuci sutera. Sekarang dia sudah bercucu. Adapun bayaran mencuci sutera Rp
50.000 per kilogram benang sutera. “Sutera asli sudah jarang, makanya banyak
yang berhenti. Hari ini saya kerja tidak seberapa, tapi minggu lalu lumayan
banyak,” kata Kamaq Dina yang beberapa putrinya juga bergelut dalam kegiatan
persuteraan. “Ada anak saya yang bisa menenun, ada juga tidak. Ada yang bekerja
sebagai penjual sarung sutera tapi dia tidak bisa menenun,” tambah Kamaq Dina.
Penggunaan “pikaer anjoro” dan “pilapaq anjoro” adalah hal
menarik. Penting untuk dikaji, khususnya bahan apa yang dikandungnya sehingga
mujarab sebagai pelembut sutera. Meskipun sama-sama abu, abu dari kayu lain tak
akan bisa menyamai abu “pikaer anjoro” dan “pilapaq anjoro” dalam melembutkan
benang sutera.
Penggunaan bahan tersebut harusnya kita lindungi, yaitu
mempatenkannya. Ini bisa dilalukan pihak Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat
sebab bisa saja teknik ini juga digunakan pengolah sutera di kabupaten lain di
Sulawesi Barat.
Sifatnya sama dengan penggunaan motif, yaitu memenuhi syarat untuk dipatenkan. Jangan sampai ada perusahaan atau industri mempatenkannya sehingga di masa mendatang para pengolah benang sutera di Mandar harus membayar untuk bisa menggunakan cara demikian. Memang itu sulit untuk terjadi (pihak industri mengklaim), tapi tak mustahil itu tak mereka lakukan. Tapi sebelum itu harus dikaji mendalam, mencari tahu apakah daerah lain juga melakukan hal yang sama.
10.40 | 0
komentar
Mosso di Antara Banua Kaiyyang Kerajaan Balanipa
Hampir semua kampung kuno di Sulawesi Barat berada di daerah
perbukitan. Demikian halnya dengan negeri-negeri pembentuk Kerajaan Balanipa,
semua berada di atas bukit, berkisar 100 – 300 meter di atas permukaan laut.
Napo dan Samasundu paling mudah diakses, jalan aspal yang
bagus. Bisa lewat Limboro, bisa juga lewat samping SMA 1 Tinambung (Layonga).
Dari jalan trans Sulawesi, Napo dan Samasundu berjarak 3 – 4 kilometer. Kurang
lebih 3 kilometer dari Napo atau terus “ke dalam” lagi, Toda-todang berada.
Yang relatif susah medan ke sana dan posisinya paling tinggi dari permukaan
laut adalah Mosso.
Untuk menuju Mosso, gerbang aksesnya berada di Desa
Tammangalle, di jalan yang sama menuju SMP 2 Balanipa. Dari jalan trans, Mosso
berjarak sekitar 5 kilometer. Kadang jalan mulus dengan aspal butas dan cor
beton, tapi lebih banyak rusak berupa ‘sirtu’ batu-batu atau era aspal Buton.
Jalan menuju Mosso melalui punggung-punggung bukit, di atas situ akan nampak
pemandangan indah.
Muncul pertanyaan mengapa nenek moyang kita dahulu mengapa
mereka memilih tinggal di bukit dibanding dataran rendah?
Meski terasa jauh antara Mosso dengan Napo, Samasundu dan
Toda-todang, sebab kalau naik motor jarak tempuh setidaknya 10 km, sejatinya
mereka amat berdekatan. Ya, bila kita jalan kaki, kurang sejam waktu tempuh
dari satu kampung ke kampung yang lain. Atau kalau ditarik garis lurus, antar
empat kampung tersebut, jaraknya ialah Mosso – Toda-todang 1,7 km; Mosso – Napo
2,7 km; Napo – Toda-todang 1,8 km; dan Napo – Samasund 1,4 km.
Jadi, kakek nenek kita dulu tidak berjalan memutar menuju
arah pantai lalu naik bukit lagi, tapi menelusuri jalan setapak, naik turun
bukit dan lembah. Istilahnya kalau dibawa ke dunia pariwisata, “tracking”.
Secara umum, “Appeq Banua Kayyang” dan kampung-kampung kecil
lainnya, misal Pallis, Panuttungang, Salarriq, dan lain-lain terdapat di
punggung “Bukit Barisan” ala Balanipa, yaitu jejeran perbukitan dari Buttu
Lambangang hingga Buttu Tammengundur. Salah satu bukit yang menjadi destinasi
idaman “traveler” lokal Polewali Mandar adalah Buttu Bendara yang tingginya
sekitar 500 dpl. Di atas puncak bukit ini, jika cuaca cerah, Parepare bisa
kelihatan apalagi Polewali.
Mosso pada dasarnya berada di lembah atau berada di antara
lereng bukit kecil. Sangat strategis sebagai kampung yang susah diakses musuh.
Dari pesisir, Mosso tidak kelihatan. Beda dengan kampung tetangganya, yaitu
Pallis. Dari perbatasan Polman – Majene, Pallis kelihatan jelas.
Tapi ketika naik di atas bukit yang banyak terdapat di
sekitar Mosso, pengamatan bisa dikatakan sempurna. Khususnya ke kawasan
pesisir, tepatnya muara Sungai Mandar. Membayangkan ketika masyarakat Mosso
menyaksikan perahu yang membawa Todilaling memasuki Sungai Mandar untuk
kemudian menuju Soreang (Kandeapi di Tinambung sekarang ini).
Pada bukit yang lain, Napo, Samasundu serta Toda-todang juga
kelihatan jelas. Intinya, antar keempat kampung ini memang bertetangga. Ketika
membandingkan dengan kampung-kampung di Kalumpang (Mamuju), nampak jelas
kemiripannya. Sama-sama berada di perbukitan dan dulunya (antara Mosso dengan
tiga yang lain) mereka adalah satu keluarga.
Kata “banua” atau “wanua” adalah kata kuno Austronesia yang
berarti rumah. Kata ini masih digunakan oleh masyarakat Kalumpang dan Mambi,
bahwa bahasa setempat untuk rumah adalah “banua”. Bandingkan dengan kerabat
jauh kita di Samudera Pasifik yaitu masyarakat Maori yang juga menggunakan kata
“whenua”.
Dulu “banua” adalah rumah, yang mana satu keluarga besar
tinggal. Bukan satu kepala keluarga, tapi beberapa. Itu sebab, ketika kepala
keluarga bertambah, ukuran rumah “banua” bertambah panjang. Praktek demikian
pernah dilakukan masyarakat Kalumpang (rumah disebut “banua batang”), juga orang
Dayak di Kalimantan.
Ketika “banua” tak bisa lagi menampung atau terjadi
perubahan pola hidup (serta persaingan sosial), maka ada keluarga yang
memisahkan diri. Mereka mendirikan “banua” tersendiri. Lama-lama, ada banyak
“banua” di satu tempat sehingga kata “banua” bergeser, dari rumah menjadi
sebuah kampung. Adapun kata kampung itu sendiri berasal dari Bahasa Portugis,
yaitu “campo”. Dalam Bahasa Portugis, “campo” lingkungan permukiman di luar
rumah-rumah Portugis.
Sebagai satu keluarga besar adalah modal utama sehingga
Napo, Samasundu, Mosso dan Toda-todang bisa dengan mudah bersekutu melawan
Passokkorang. Dalam Lontar Pattodioloang Mandar, Passokkorang berasal dari
timur “Appeq Banua Kaiyyang”. Kemungkinan besar di sekitaran Sungai Maloso,
sebab di situ (saat ini) juga ada nama tempat bernama Passokkorang. Dan mengapa
aliansi antara Pitu Baqbana Binanga dengan Pitu Ulunna Salu dilakukan di Luyo
(tak jauh dari Sungai Maloso) atau “Allawungang Batu di Luyo”, tentu tak lepas
dari perlawanan terhadap Passokkorang.
Meski sekarang ini Mosso hanya berupa desa kecil yang berada
di atas bukit, pada waktu lampau di masa Kerajaan Balanipa masih terbentuk,
Mosso memiliki wilayah cukup luas. Malah, Pambusuang dan desa sekitarnya (yang
sekarang ini penduduknya beberapa kali lipat dari Mosso) adalah daerah di bawah
kekuasaaan Mosso. Pambusuang adalah “Anaq Banua-nya” Mosso.
Keunikan Mosso dibanding kampung-kampung kuno lain antar
“Appeq Banua Kaiyyang” adalah di sana masih tersimpan pusaka paling terkenal
Todilaling atau “maraqdia” (raja) pertama Kerajaan Balanipa, yaitu gong Taqbilohe.
Gong tersebut adalah rampasan perang armada Kerajaan Gowa ketika melakukan
penyerangan ke Kerajaan Lohe (salah satu nama tempat di Nusa Tenggara Barat).
Kerajaan Gowa beberapa kali menyerang Kerajaan Lohe tapi tak
pernah takluk. Nanti penyerangan dipimpin I Manyambungi (nama lain dari
Todilaling), barulah Kerajaan Lohe berhasil dikalahkan. Benda pusaka kerajaan
tersebut diambil oleh armada Kerajaan Gowa sebagai simbol penaklukan.
Ketika I Manyambungi akan kembali ke kampung halamannya
mengabdi, oleh Karaeng Gowa menghadiahkan kepada I Manyambungi rampasan perang
paling berharga yang pernah diperoleh Kerajaan Gowa, yaitu gong Taqbilohe dan
keris Pattarappang. Adapun keris Pattarappang adalah keris yang didapatkan I
Manyambungi ketika memimpin armada Kerajaan Gowa dalam menaklukkan Pariaman
(Sumatera Barat).
Sumber : http://ridwanmandar.blogspot.com
10.37 | 0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.